Sabtu, 07 Agustus 2010

MEMBANGUN PENDIDIKAN INDONESIA DENGAN KEMBALI PADA KEARIFAN LOKAL

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu bentuk kebudayaan manusia, maka pendidikan harus dilihat sebagai kegiatan yang dinamis, mengikuti percepatan laju perubahan serta dinamika budaya dari masyarakat dinama pendidikan diterapkan. Hal ini wajar karena pendidikan harus terus menyesuaikan dengan perkembangan jaman, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun dinamika dan laju perubahan tersebut tidak boleh tercabut dari akar budaya sendiri. Usaha penyesuaian itu diwujudkan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai kondisi dominan yang dipersyaratkan memasuki era global. Hal tersebut berkaitan langsung dengan definisi dan misi pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan tertata basis nilai, pemikiran, dan moralitas bangsa, agar mampu menghasilkan generasi yang tangguh dalam keimanan, kokoh dalam kepribadian, kaya dalam intelektual, dan unggul dalam penguasaan teknologi. Sehingga pendidikan dapat berperan dalam memberikan kontribusi yang besar bagi pencerahan bangsa.
Jadi pendidikan yang benar merupakan tonggak pembentukan peradaban unggul yang mampu menghadirkan khaira ummah yang menjadi rahmatal lil’alamin. Kompleksitas problematika pendidikan di Indonesia dewasa ini, berupa ketidakberdayaannya dalam membangun jati diri bangsa yang anggun dan tercerahkan, berupa ketidakmampuannya merekonstruksi potensi bangsa secara responsif dan dinamis. Problematika yang bermuara pada problem intrinsik dan problem ekstrinsik dunia pendidikan di negeri ini. Problem intrinsik yang berkenaan dengan kurikulum, metodologi, tenaga kependidikan, dan instrumen pendidikan, juga problem ekstrinsik berkenaan dengan dampak globalisasi, kepentingan politik, sosial ekonomi, demografi, dan lain-lain. Tentunya memerlukan suatu jawaban konkret komprehensif dalam membangun sistem pendidikan dengan paradigma dan orientasi pendidikan sebagai strategi kultural yang membawa supremasi nilai serta pendidikan pada aspek pragmatis teknis. Dalam hal ini perlu dikembangkan pendidikan dengan kembali kepada kearifan local. B. Permasalahan Dari uraian di atas dapat kita fahami bahwa permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah : a. Bagaimana pendidikan dengam kearifan lokal dapat membangun jati diri bangsa. b. Apa yang menjadi ciri dari pendidikan dengan kearifan lokal c. Perubahan kurikulum sebagai upaya menjawab tantangan perkembangan jaman. II. PEMBAHASAN A. Membangun Jati Diri Bangsa Melalui Pendidikan Berwawasan Pada Kearifan Lokal Kearifan kearifan lokal (local genius) pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Pengembangan kearifan lokal suatu daerah akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Karya-karya seni budaya, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam ''wajah atau wacana keindonesiaan'' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Oleh karena itu, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk terus menggali dan ''memproteksi'' kearifan lokal yang terdapat pada setiap etnik lokal lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal. Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya niscaya manusia didik tidak terperangkap dalam situasi di mana menjadi manusia yang terasing dari realitas dirinya dalam pengertian "menjadi seperti (orang lain)''. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi sosial budaya. Budaya Barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain". Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya "lain". Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif. Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan dan mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya serta mempunyai jati diri yang kuat yang pada akhrinya akan dapat memiliki nilai budaya nasional yang transetnik dalam menyongsong masa depan. Sekarang tinggal bagaimana peran pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut. B. Ciri.Ciri Kearifan Lokal Dalam Dunia Pendidikan Ada sejumlah praktik pendidikan tradisional atau etnodidaktik yang terbukti ampuh. Sebut sajalah praksis kultural di kampung-kampung adat seperti Kampung Naga dan Baduy yang terpuji dalam melestarikan lingkungan. Demikian juga sistem pendidikan berasrama di pesantren-pesantren tradisional yang telah menghasilkan lulusan yang memiliki jiwa kewirausahaan dan hampir tidak pernah bercita-cita menjadi pegawai negeri. Demikian itu adalah kearifan lokal yang layak menjadi basis pendidikan dan pembudayaan. Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan sebagainya. Dari situ akan berkembang etnofilosofis, etnopsikologi, etnomusikologi, etnopolitik, dan sejenisnya. Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar. Ini mencakup cara mengamati dan mengukur alam sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan. Ada beberapa ciri kearifan lokal yaitu: (1) berdasarkan pengalaman (2) teruji setelah digunakan berabad-abad (3) dapat diadaptasi dengan kultur kini (4) padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga (5) lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan (6) bersifat dinamis dan terus berubah (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan. Pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal ini, termasuk reinterpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa, dengan kondisi kontemporer adalah strategi cerdas untuk memecahkan problem sosial karena dalam banyak hal problem sosial itu bersumber pada persoalan lokal juga. Perlu ada sinergi antara pemerintah daerah dan prajurit-prajurit kebudayaan, serta pihak Perguruan Tinggi untuk mengembangkan konsep akademik dan melakukan uji coba model-model etnodidaktik dan pedagogik. Sampai kini, misalnya, belum ada penelitian tentang dampak penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar pendidikan pada sekolah, kelas, atau mata pelajaran tertentu. Tidak boleh dilupakan bahwa revitalisasi kearifan lokal dalam etnopedagogi tidak cukup dilakukan secara personal, tetapi mesti dilakukan secara berjamaah institusional dan lintas sektoral C. Perubahan Kurikulum Sebagai Upaya Menjawab Tantangan Perkembangan Jaman Membangun sistem pendidikan berarti suatu upaya terencana dalam bentuk optimalisasi komponen-komponen pendidikan dengan memperhatikan aspek-aspek educational philosphy, educational procces, dan educational out put guna mencapai tujuan yang diharapkan. Membangun sistem pendidikan merupakan upaya kolektif dari serangkaian proses rekonstruksi, reformasi, reorientasi, dan reinterpretasi terhadap komponen-komponen dominan dari sistem yang sedang berjalan.Relevan dengan konteks ‘membangun’ di atas. maka ada tiga pilar yang harus diperhatikan yaitu : 1. Reorientasi dan reformasi kurikulum Hal ini berkenaan dengan materi pembelajaran, proses belajar, dan sistem evaluasi hasil belajar yang diarahkan pada penguasaan proses pengetahuan dan pemahaman nilai dan bukan sekadar penguasaan materi pengetahuan. Dengan orientasi itu diharapkan akan memberi suasana kondusif bagi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan dan metodologi yang relevan. Dengan pemahaman bahwa proses belajar dan sistem evaluasi hasil belajar memberikan kontribusi dominan bagi kualitas suatu sistem pendidikan. Dan keduanya mempunyai hubungan timbal balik dalam menentukan hasil yang optimal. Sistem evaluasi ditentukan oleh tujuan instruksional tiap proses belajar dan di sisi lain orientasi proses belajar cenderung tidak lepas dari model evaluasi yang digunakan. Selama ini kognisi siswa tidak terarah pada ranah kognitif analisis, sintesis, dan aplikasi karena orientasi materi pelajaran dan sistem evaluasinya tidak ditekankan pada hal-hal tersebut. Sehingga memberi kesan kuat bahwa proses belajar hanya berorientasi pada penguasaan sejumlah materi yang demikian padat sebagai bentuk persiapan menghadapi ujian dengan alasan dan pemikiran bahwa hasil ujian adalah indikator kualitas belajar. Kita bisa mengamati bahwa selama ini bentuk-bentuk soal mulai Ebtanas, UMPTN, hingga soal-soal Cerdas Cermat di televisi; kesemuanya lebih menekankan pada penguasaan sejumlah materi. Sehingga proses belajar dengan metodologi praktis pragmatis dan pendekatan pengajaran yang menekankan penguasaan keterampilan dan proses-pun macet. Betapa dalam kurikulum terdahulu Pendekatan Penemuan (inquiri), Pendekatan Aplikatif, dan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) hanya sebatas retorika. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan model belajar di negara-negara maju yang proses belajarnya memberi iklim kondusif bagi siswa untuk berkreasi, berinovasi, dan berapresiasi, serta pengembangan kognisi yang lebih bersifat pragmatis dengan penekanan penguasaan proses dan alih latih, dan menyediakan pendekatan proses, pendekatan menyelediki, dan pendekatan siswa aktif. Sebagai contoh; siswa setingkat SD di Amerika pada tiap pelajaran di tiap semester ditugaskan membuat suatu proyek (hasil karya) dan merepresentasikan di depan kelas, yang tentunya proyek itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan jenjang belajar siswa. Dan siswa setingkat kelas II SLTP di Jerman, dalam satu semester untuk pelajaran Fisika hanya belajar tentang Optik (mempelajari jalannya cahaya pada lensa, cermin, dan benda optis lainnya), mereka diminta untuk mengamati dan membuat laporan tentang jalannya cahaya pada benda-benda optis dan pola spektrum cahaya pada prisma. 2. Peningkatan kualitas guru Sebagai tenaga kependidikan, mengingat sebagai komponen proses belajar mengajar guru menempatkan posisinya sebagai pemeran aktif yang mengemban tanggung jawab mengajar, mendidik, dan membimbing, serta mengarahkan siswa pada taraf kematangan intelektual yang diharapkan. Oleh karena perannya yang kompleks dalam proses belajar sebagai usaha mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas guru adalah prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pendidikan yang optimal dalam kerangka membangun sistem pendidikan. Kualitas guru sebagai tenaga kependidikan disyarat memiliki kemampuan (capable) dalam hal profesionalisme berkenaan dengan menciptakan interaksi positif dalam proses belajar mengajar dengan implementasi teknik, prosedur, metodologi dan pendekatan yang komprehensif. Kapasitas intelektual berkenaan dengan fungsi dan tugasnya dalam transfer of knowlwdge dan transfer training. Sosial edukatif berkenaan dengan kematangan dan kedewasaan seorang guru dalam mendidikan dan membimbing, sesuai dengan etos guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. 3. Mekanisme Seleksi Calon Tenga Kependidikan Menuju peningkatan kualitas guru sebagai tenaga kependidikan, tentunya memerlukan adanya mekanisme seleksi calon tenaga kependidikan dengan memperhatikan kualifikasi profesionalisme dan aspek-aspek kompetensi. Mekanisme kontrol dan evaluasi yang objektif terhadap mutu dan efektivitas pelaksanaan proses belajar mengajar dan menejemen penyelenggaraan pendidikan. Pembinaan karir secara organisatoris, maksudnya adanya keterkaitan dengan organisasi profesi, memiliki otonomi jabatan, dan kode etik, serta merupakan suatu profesi yang menekankan pengabdian.. Dan juga sinergisme antara pendidikan sebagai suatu sistem dengan komponen di luar sistem, mengingat problematika pendidikan juga berkenaan dengan kendala-kendala ekonomi, kepentingan politik, demografi, dan lain-lain. Demikianlah, tentunya ada bertumpuk berharap agar krisis pendidikan di negeri ini, keterpurukan dan ketakberdayaannya akan dapat tercerahkan melalui proses-proses di atas. Dan tentunya ada bertumpuk harap agar pemerintahan baru di era reformasi dapat berbuat banyak dalam memberikan peranannya dalam membangun sistem pendidikan mengantar bangsa ini memasuki millenium baru, menuju Indonesia Baru sebagai baldatun thayibah. III. PENUTUP Simpulan 1. Untuk membentuk jati diri bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengembalikan pembelajaran pada kearifan lokal. 2. Ciri kearifan local adalah: (1) berdasarkan pengalaman (2) teruji setelah digunakan berabad-abad (3) dapat diadaptasi dengan kultur kini (4) padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga (5) lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan (6) bersifat dinamis dan terus berubah (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan. 3. Membangun sistem pendidikan berarti suatu upaya terencana dalam bentuk optimalisasi komponen-komponen pendidikan. Ada tiga pilar dalam membangun sistem pendidikan Indonesia yaitu : a. Reorientasi dan reformasi kurikulum b. Peningkatan kualitas guru c. Mekanisme Seleksi Calon Tenga Kependidikan DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaidar, 2006, Tujuh ayat etnopedagogi, htt://beta.pikran-rakyat.com, 21 Juli 2006 azwirdafrist , 2008, Kearifan Lokal sekolah terhadap Tradisi Bangsa, 13 Februari 2008 Wirawan, Kadek Muriadi, 2008, Proteksi”Local Genius” Melalui Pendidian, Bali Post, 8 Mei 2008 Gumilang, AS Panji, 2006, Indonsia yang Cerdas, Toleran dan Damai, 12 Juli 2006 Sayuti, Suminto A, 2005, Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara “Yang Lain” dan kearifan Lokal, Lembaga Pendidikan Semi Palar, 24 Februari 2005 Mukhlason,akhmad, 2000, Membangun Pendidikan Memasuki Millenium Baru, 16 Februari 2000

6 komentar:

  1. lanjutkan pendidikan indonesia......

    BalasHapus
  2. Pendidikan Adalah pewarisan budaya

    BalasHapus
  3. memajukan pendidikan dengan kearifan lokal sangatlah penting

    BalasHapus
  4. etnopedagogi itu ap sih.??

    BalasHapus
  5. izin save dan terima kasih infonya, semoga sukses

    BalasHapus

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!