- Pendahuluan
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di
dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi (Sudrajat,
2009). Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum
ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk
menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta
didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi
kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan
operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan
kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran,
tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan
hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum
tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia
pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti
politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur
masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan
menjiwai suatu kurikulum.
Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah
menurut Hamzah (2008) mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada
materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum
pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan sekolah terasa
mengental, bahkan menuju ke arah status quo
kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan,
pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak
melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang
berkelanjutan.
Lebih lanjut Hamzah (2008) berpendapat kenyamanan
karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para
pendidik dan peserta didik terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan
bukannya pendidikan yang membebaskan. Untuk itu, internalisasi sikap,
perilaku, dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan sekolah perlu
dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada
setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang digunakan oleh sekolah.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah
terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau
terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini
sudah didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada peserta didik.
Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum
yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang bernuansa ekonomi dan
hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan inspirasi yang
mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada kurikulum.
Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya kurang begitu diperhatikan.
Adanya
pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan
terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus
menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah.
Keterjebakan kurikulum pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis
menurut Hamzah (2008) menjadi dilematis dengan mengarahkannya kepada
materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan
sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Hal ini dipertegas oleh Topatimasang
dan Fakih (2007) yang menyatakan kurikulum pendidikan sekolah cenderung
menafikan nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai materialitas.
Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas
berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard
yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas
bukan pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas. Hal ini
dapat mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan
yang materilitas dan distigma.
Oleh
karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi
fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,
kreativitas, dan mentalitas (Agger, 2006). Hal ini tidak berhenti pada
fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada
pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang
selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.
Konsep reproductive view of learning
yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluaran yang bersifat
mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis, kreatif, dan mempunyai
nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning
yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas.
Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang
berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah
satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak
awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas
berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
- Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana
kurikulum akan dapat dilaksanakan. Bondi dan Wiles (1989:87) berpendapat
pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak
hal, yakni 1) kemudahan suatu analisis tujuan, 2) rancangan suatu
program, 3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan 4)
peralatan dalam evaluasi proses.
Pengembangan
kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam
pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan
kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut
Dimyati dan Mudjiono (2006:268) mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai
dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2)
fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik
berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3)
landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka
penyorotnya.
Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono (2006:269-272) mengemukakan landasan pengembangan kurikulum mencakup:
- Landasan Filosofis
Pendidikan
ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki
oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan.
Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber nilai
yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan
wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam
pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam
masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.
Filsafat menurut Winecoff (1988:13) sebagai
suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat
sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat
pikiran. Oleh karena itu landasan filosofis pengembangan kurikulum
adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan,
keindahan, dan hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat.
- Landasan Sosial, Budaya, dan Agama
Realitas
sosial, budaya, dan agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan
kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan
pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu
dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi pegangan
hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang perlu
dipertahankan dan dihormati dalam masyarakat mencakup nilai keagamaan
dan sosial budaya. Nilai keagamaan berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena itu umumnya bersifat
langgeng (Joni, 1983:5).
Nilai
sosial dan budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal budi
manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan, dan
melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian apabila
terdapat nilai sosial budaya yang tidak diterima/tidak sesuai dengan
akalnya akan dilepas. Oleh karena itu nilai sosial dan budaya lebih
bersifat sementara jika dibandingkan dengan agama. Untuk melaksanakan
penerimaan, penyebarluasan, pelestarian, atau penolakan dan pelepasan
nilai sosial-budaya-agama, maka masyarakat menggunakan pendidikan yang
dirancang melalui kurikulum.
- Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
Pendidikan
merupakan upaya penyiapan peserta didik menghadapi perubahan yang
semaki pesat, termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (ipteks). Sukmadinata (1997)
mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung akan menjadi
isi/materi pendidikan, sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas
kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan
penyelesaian masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ipteks.
Selain itu perkembangan ipteks juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan
masalah pendidikan.
- Landasan Kebutuhan Masyarakat
Adanya falsafah hidup, perubahan sosial-budaya-agama,
dan perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula kebutuhan
masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh kondisi dari
masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan
yang lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas dan kuantitas
individu yang menjadi anggota masyarakat. Pengembangan kurikulum menurut
Sumantri (1988:77) juga harus ditekankan pada pengembangan individual
yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga
disimpulkan landasan pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat
yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.
- Landasan Perkembangan Masyarakat
Perkembangan
masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai, ipteks, dan
kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah hidup akan mengarahkan
perkembangan masyarakat, nilai-nilai sosial-budaya-agama akan merupakan
penyaringan nilai-nilai lain yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks
mendukung perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan
membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan. Perkembangan
masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai.
Untuk menciptakan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan
pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
- Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum
menggunakan prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari
atau justru menciptakan sendiri prinsip baru. Oleh karena itu, dalam
implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin
terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang
digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak
sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan
kurikulum.
Sukmadinata (1997) mengemukakan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam
yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan
kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan
efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan
dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi
pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar,
prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip
berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Hal senada dikemukakan oleh Hernawan dalam Sudrajat (2009) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
- Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosiologis),
- Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,
- Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,
- Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,
- Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Sudrajat (2009) terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan,
- Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi,
- Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
- Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan,
- Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,
- Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya,
- Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan
prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang
justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu
dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum. Dalam menyikapi
suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus hanya pada pemenuhan
struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum. Padahal jauh lebih
penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi
prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
- Inovasi dan Pengembangan Kurikulum
Inovasi dan pengembangan kurikulum
dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis,
selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar
(peserta didik). Hal ini dipertegas oleh Audrey dan Nicholls (1982:
21-30) mengemukakan bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar
mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah
penyelidikan mengenai situasi (situation analysis)
yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam
arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang
diharapkan melaksanakan kegiatan.
Istilah
inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu yang baru yang
membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan pendekatan atau metode
baru (Sidjabat, 2009). Untuk menghasilkan
sesuatu yang baru, yang diharapkan lebih berdaya guna, harus bertolak
dari apa yang ada. Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari
sesuatu yang belum ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Oleh karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.
Dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan untuk senantiasa memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk
kurikulum. Ferris (1990:34-35) mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam
upaya pembaruan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar
yang harus dijadikan pedoman, yakni: 1) kepekaan terhadap nilai budaya
lokal (cultural appropirateness), 2) kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness to the church), 3) merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap kebutuhan setempat (flexible strategizing), 4) menilai keberhasilan dari hasil belajar peserta didik (outcomes assessment), 5) menekankan pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual formation), 6) mengembangkan kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis, praktis, dan pelatihan spiritualitas (holistic curricularizing), 7) melengkapi peserta didik untuk melayani (service orientation), 8) mengembangkan kreativitas guru dalam mengajar, memilih metode yang tepat (creativity in teaching), 9) membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview), 10) mempertimbangkan dimensi perkembangan peserta didik (developmental focus), dan 11) memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan.
Diperlukan riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk
mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini
ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan
pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding
mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Hal ini dipertegas
oleh Kohl (2002:29-41) berdasarkan hasil risetnya dengan mengusulkan
tema-tema perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa depan
mencakup: 1) isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang
layanan para lulusan, 2) struktur organisasi yang mendukung
pembelajaran, dan 3) sumber finansial demi kemandirian lembaga
pendidikan sekolah itu sendiri.
Sistem inovasi
pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor,
kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang
mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya
(termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses
pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata
menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan,
penelitian, pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek
dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam
pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian
sebaliknya, perkembangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi
bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.
Arnold dan Kuhlmann dalam Sukmayadi (2004) yang menggambarkan skema tentang sistem inovasi seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Elemen Sistem Inovasi
Sistem inovasi memiliki peran dan hubungan timbal balik sangat penting dengan pendidikan. Beberapa aktivitas penting dalam sistem inovasi pendidikan menurut Liu dan White dalam Sukmayadi (2004) adalah:
- Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa),
- Implementasi, misalnya manufaktur),
- Penggunaan akhir (end-use), pelanggan dari produk atau output proses,
- Keterkaitan (linkage), menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif,
- Pendidikan.
Disimpulkan bahwa sistem
merupakan elemen/pilar sangat penting bagi berkembangnya sistem inovasi
pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum. Sistem inovasi yang kuat
akan mendukung perkembangan pendidikan yang semakin baik pula.
- Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi Kritis, Kreativitas, dan Mentalitas
Ilmu
pengetahuan diawali dengan sarat nilai dan sarat tujuan yang mulia.
Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap kebohongan, pembebasan dari
belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan dan keacuhan yang
semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia
sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah (2007:4)
juga penuh dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas.
Banyaknya ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan, keterpasungan
dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pesanan, sengaja membiarkan
kesalahan pada suatu sistem, serta pola manajemen yang bertentangan
dengan hati nurani bukan salah pada ilmu pendidikan. Kesalahan awal
terletak pada kurikulum dan strategi pembelajaran yang selama digunakan
dalam penyelenggaraan pendidikan pada pendidikan.
Kurikulum pendidikan sekolah
merupakan pertautan pengetahuan dan kepentingan berbagai pihak terkait
dengan proses pembelajaran. Adanya kepentingan menunjukkan adanya
politik, dalam hal ini politik adalah sistem irasional dengan
variabel-variabel yang kompleks dan sulit dimengerti oleh siswa
terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit ditebak akan ke mana arah
pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk itu menurut Sindhunata
(2004) diperlukan kritik menuju pembebasan para guru dan siswa dari
irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.
Hal ini dikarenakan institusi pendidikan beserta para civitas akademik terjebak dan terbuai pada
rasionalitas serta ketidaksadaran yang berkelanjutan. Hal ini terlihat
dari pengetahuan yang didapat oleh siswa lebih banyak dari proses
pembelajaran yang lebih banyak satu arah bukan partisipasi yang bersifat
dialektis yang diutamakan. Para guru masih menganggap dirinya adalah
dewa yang mengetahui segala persoalan dan permasalahan dalam proses
pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan menumpulkan daya kritis siswa
sehingga proses penalaran dan pengasahan dalam perenungan menjadi
terabaikan. Padahal pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata dari
proses pembelajaran saja, tetapi juga dari perenungan ide-ide,
pengalaman, dan pengamatan indra.
Bagi para guru
yang kurang atau tidak melakukan perenungan ide-ide, pengalaman, dan
pengamatan indra, maka strategi pembelajarannya hanya bersifat satu arah
dan pasif. Proses penajaman dari materi yang ada tidak tergali secara
optimal. Materi yang diajarkan dianggap sebagai sesuatu yang given
(pemberian), untuk itu tidak perlu sikap kritis terhadap materi
tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat dan dijadikan kontrak belajar
antara para guru dan siswa juga dianggap sebagai sesuatu yang given
(pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide akan mematikan daya
imajinasi, inspirasi, dan inovasi terhadap sesuatu untuk menciptakan
sesuatu yang baru. Apalagi proses pembelajaran selama ini juga lebih
banyak menggunakan rasio sebagai alat analisis.
Proses tersebut akan memunculkan replikator-replikator baru bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal
ini dikarenakan rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis
sebetulnya tidak netral dan historis atau tidak terkait dengan masa
lalu. Untuk membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri
pada hati nurani. Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara
kejujuran yang paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani
akan mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu,
maka dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar
mengajar tidak semata-mata bertumpu pada rasionalitas semata, tetapi
juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan inspirasi untuk
menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata hati nurani.
Kritis
berkaitan dengan memiliki ketajaman dalam menganalisis suatu hal atau
persoalan dan pengambilan keputusan. Semakin tajam seseorang
menganalisis suatu permasalahan maka akan semakin tajam pula keputusan
yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam Hassoubah (2007:87)
menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan Lamb (2000) yang menyatakan bahwa critical
thinking involves logical thinking and reasoning including skills such
as comparison, classification, sequencing, cause/effect, patterning,
webbing, analogies, deductive, and inductive reasoning, forecasting,
planning, hypothesizing, and critiquing. Berpikir
kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan
keterampilan seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan, sebab
akibat, menyusun, mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif, dan
penyebab induktif, ramalan, rencana, membuat hipotesis, dan tinjauan
kritis.
Resnick dan Gokhale dalam
Sudaryanto (2007) menyarankan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan
model diskusi kelompok kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil
akan mendapat kesempatan mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi
pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain
untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun
pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan
seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang
santun.
Kurikulum pendidikan sekolah
terjebak pada kestatisan yang berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak
dilandasi dengan pikiran, sikap, dan tindakan yang positif. Untuk keluar
dari pikiran, sikap, dan tindakan yang negatif menuju positif
seakan-akan terasa sulit. Hal ini dikarenakan ketidakpercayaan terhadap
orang dan sistem yang ada. Hal ini juga dikarenakan risiko yang ada
terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan tindakan yang dialami para
guru dan keluaran dari institusi sekolah. Kreativitas menurut Buzan dan
Buzan (2003) adalah proses perubahan yang lebih baik dengan memberi
nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko. Tanpa adanya
nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.
Salim dan
Salim (2002:776) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah
kemampuan mencipta, sedangkan kreativitas menurut Campbell dalam ADVY
(2007) adalah suatu ide atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif,
berdaya guna (useful), dan dapat dimengerti (understandable).
Aplikasi dari konsep tersebut adalah seorang siswa harus banyak
bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi untuk memperoleh
kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.
Melakukan kreativitas
dalam pendidikan sekolah terkadang berbenturan dengan pelanggaran
aturan yang ada. Aturan yang selama ini dibuat dan disimpan dalam kotak
tidak boleh dilanggar atau dilakukan perubahan. Untuk itu, perlu
mendesakralisasi aturan tersebut dengan melakukan perubahan. Lebih
lanjut Buzan dan Buzan (2003) mengemukakan untuk merubah aturan tersebut
menjadi lebih baik, maka harus berpegang pada filosofi aturan tersebut
serta berpikir di luar kotak (out of the box).
Proses berpikir di
luar kotak yang belum banyak diasah oleh para guru dan siswa. Bahkan
tidak hanya berpikir di luar kotak, tetapi juga merangsang untuk
menciptakan kotak baru dengan berpijak pada proses berpikir di luar
kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang selalu digunakan dan
dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang destruksi. Proses
kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat dengan berpijak
pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan. Pendidikan bersandar pada
asumsi yang ada, dengan menghilangkan, mengurangi, atau menambah
asumsi-asumsi yang ada akan tumbuh kreativitas yang berkelanjutan.
Kebuntuan kreativitas terkadang terjebak
pada penggunaan logika, karena logika berpola secara sistematis,
teratur, dan mekanis. Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran
yang lateral, acak, dan dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada
pendidikan tinggi akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika
dibandingkan dengan intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan
penumbuhan intuisi dan imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka
kreativitas akan berjalan di tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan
dengan melakukan kaitan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain yang mampu
membuat nilai tambah dan berdaya guna.
Munandar (2002)
mengemukakan untuk melakukan kaitan dalam proses kreativitas dapat
dilakukan dengan kaitan yang tak berkaitan. Dengan kata lain, melampaui
dari sesuatu yang dijadikan pijakan untuk mengaitkan dengan sesuatu yang
lain. Dalam proses mengaitkan tersebut, kreativitas akan semakin tumbuh
dengan kemampuan untuk memilah dan memilih bagian dari sesuatu yang
berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan sekolah proses untuk
menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan, akibatnya keluaran
dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang statis tanpa
mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai tambah, daya
guna, dan daya hasil bagi masyarakat.
Kemampuan
berpikir kreatif dapat memudahkan siswa dalam memperdalam ilmu
pengetahuan yang dimiliki dan mempertajam kemampuan siswa untuk
menganalisis permasalahan yang timbul dalam usahanya mempelajari materi
tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari materi yang disajikan di
sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang telah
didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif dapat diketahui oleh orang
lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui kemampuan berpikir kreatif
dari siswanya sehingga dapat mengenali karakteristik siswanya dan pada
akhirnya dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik siswa.
Setiap sistem terkandung nilai-nilai tersendiri. Pendidikan sekolah
merupakan sistem maupun subsistem pendidikan tergantung dari sudut
pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah sebagai suatu
sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan
seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama proses
pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang
merupakan nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang menjadikan
para pendidik dan anak didik mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan
sosial, dan ketangguhan antar manusia dengan dijiwai oleh nilai-nilai
kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
Nilai
yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan spiritual dalam diri para pendidik dan anak
didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai keseluruhan usaha dalam sistem
pendidikan sekolah. Masalahnya dengan
pendidikan tinggi akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini
merupakan sistem yang memiliki tata nilai sendiri yang telah
berulang-ulang kali terjadi dalam sejarah, yaitu nilai-nilai sempit
sistem yang menggantikan nilai luhur pendidikan tinggi akuntansi
sehingga tujuannya menjadi tujuan egois sistem itu sendiri yang mengarah
pada materialitas.
Nilai
sempit ini terlihat dari ketangguhan pribadi yang mengungguli
ketangguhan sosial dan ketangguhan antar manusia serta kecerdasan
intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia mempunyai
keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi
para guru dan siswa yang merupakan pembuatnya untuk mencapai
tujuan-tujuan egoisnya sendiri, yaitu materialitas (Hamzah, 2007:8).
Ketika para guru dan siswa mulai sadar akan hal ini dan mencoba
menggantikan sistem tersebut oleh sistem yang baru yang menawarkan pada
pendidikan yang membebaskan, maka banyak mengalami permasalahan, baik
dari sistem yang sudah ada maupun para pemakai dan pembuat sistem
tersebut.
Permasalahan
terbesar khususnya dari pemakai dan pembuat sistem tersebut, yaitu
ketakutan akan berkurangnya atau hilangnya nilai-nilai yang bersifat
materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem adalah dogmatisasi
nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya
bersifat sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan
jaman. Plato dalam Hamzah (2007:8) dengan teorinya falsification menyatakan bahwa suatu teori atau nilai-nilai pada pengetahuan yang dianut saat ini bukan suatu kebenaran yang hakiki.
Kurikulum pendidikan
sekolah yang merupakan turunan dari teori serta nilai-nilai dari suatu
ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya, pendidikan yang dituangkan dalam
kurikulum telah tumbuh begitu kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup
segala sisi dari para guru, siswa, dan sekolah sebagai institusi
pendidikan. Bahayanya terletak dari dogmatisasi nilai-nilai pendidikan
yang diajarkan pada sekolah. Kurikulum pendidikan sekolah telah
terstruktur sedemikian rupa sehingga telah mempunyai arogansi dan
egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak dalam
menyatakan kebenaran. Hal ini menurut Hamzah (2007:9) menurun dalam
penyelenggaraan pendidikan sekolah yang didominasi perspektif
positivistik.
Perspektif ini merupakan proses fabrikasi dan
mekanisasi pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang harus
sesuai dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat
seolah-olah sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan
pendidikan. Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak
mempunyai hati, nurani, dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan
pada pendidikan yang menjerumuskan bukan pendidikan yang membebaskan,
seakan-akan pasar kerja mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang
mendominasi para guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini harus diubah
dengan meletakkan manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar kerja.
Pendidikan
yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan
anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih,
dan sayang, baik antara para guru dan siswa,
antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia
satu dan manusia satunya. Hal ini dipertegas oleh Agger (2006) bahwa
untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis,
kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran
yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini
dilakukan dalam proses pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang bertumpu pada teori harus diimbangi dengan praktik yang ada. Banyak
guru pada pendidikan sekolah hanya berpijak pada teori semata, sehingga
setelah selesai teori tersebut diajarkan, maka perlahan-lahan pudar
materi yang selama ini tertanam di benak siswa. Strategi pembelajaran
yang inovatif adalah menciptakan aktivitas agar anak didik dapat
terlibat langsung dalam proses pendidikan sekaligus terlibat dalam
keseluruhan proses.
Strategi
pembelajaran tersebut tidak hanya bersifat ceramah semata saja, tetapi
juga dengan adanya simulasi, studi kasus, tanya jawab, curah pendapat,
diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi, peragaan, dan
studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan
menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin lebih
mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai
kecenderungan untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang
dipelajarinya.
- Penutup
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya
mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum
adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat
keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang
akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau
biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer
perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.
Oleh
karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi
fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,
kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja,
tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah.
Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini
berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.
Pengembangan
kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam
pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan
kurikulum. landasan pengembangan kurikulum mencakup: 1) landasan
filosofis, 2) landasan sosial, budaya, dan agama, 3) landasan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni, 4) landasan kebutuhan masyarakat, dan
5) landasan perkembangan masyarakat
Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan
kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan
dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan
proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan
alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan
penilaian.
Inovasi
dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan pengembangan
kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan
kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Masyarakat dan mereka
yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan
kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis)
yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam
arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang
diharapkan melaksanakan kegiatan.
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan
yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi
pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam
pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk
mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian
bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan
pembaruan.
Mengembangkan kurikulum
yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus
didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan
strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.
Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para
pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran,
keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara
institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu
dan manusia satunya.
DAFTAR RUJUKAN
ADVY. 2007. Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 4 April 2007).
Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Audrey, dan Nicholls, S. H. 1982. Developing a Curriculum: A Practical Guide. London: George Allen & Unwin.
Bondi, J., dan Wiles, J. 1989. Curriculum Development: A Guide to Practice. Columbus: Merril Publishing Company, A Bell & Howel Information Company.
Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book. London: BBC Worldwide Limited.
Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education: Stragies for Change. New York: Billy Graham Center.
Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.
Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan. Bandung: Nuansa.
Johnson, L. dan Lamb, A. 2000. Critical and Creative Thinking-Bloom’s Taxonomy (online). (http://eduscape.com, diakses 5 Agustus 2007).
Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kohl, M. W. 2002. Theological Education: What Needs to Be Changed. Dalam Kohl, M. W. (Eds.), Educating for Tomorrow: Theological Leadership for the Asian Context. Bangalore: Saiacs Press.
Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.
Sidjabat, B. S. 2009. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 26 Desember 2009).
Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Rajawali Press.
Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online). (http://www.fk.undip.ac.id, diakses 9 Juli 2008).
Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum (online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 26 Desember 2009).
Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
Winecoff, H. L. 1989. Curriculum Development and Instructional Planning. Sydney: Prentice Hall of Australia Limited.
mantebbb
BalasHapusmembantu untuk tugas saya :)
BalasHapusmakasih...
ilmulkan bagaikan pohon yng bebuah yang di ama
BalasHapusbelum sempat baca....tapi thanks ada bahan info untuk perbandingan
BalasHapusmakasi atas bahan na.. lum sempat baca. .
BalasHapusizin nge save . tetap bisa kok pake shortcut
BalasHapusnambah ilmu neee
BalasHapusmohon izin ya buat bahan bacaan
mantap mas moga bermanfaat...
BalasHapuspenjabarannya cukup lengkap :)
BalasHapusmakasi ya, sangat bermanfaat untuk tugas aku
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussalam...
BalasHapuspak saya minta materinya ya buat referensi tugas mata kuliah kurikulum dan pembelajaran. saya juga mau minta postingan2 terupdate seputar pendidikan.. ramliyana@yahoo.co.id atau ke ramliyana-fisika.blogspot.com
makasih pak....
makasi banyak yaaa , materinya sipp bgt sangat membantu tugas saya , sukses selaluuu :)
BalasHapusBerbagi ilmu dimana saja,,
BalasHapusTerima kasih...
ngopy materinya y pak..mksih..
BalasHapuscopas pak punteun
BalasHapussangat mmbantu ubtuk mnyelesaikan tgs saya :)
BalasHapusmakasih ilmunya
BalasHapusMakacih yach ats ilmunya yang udah mw d bagi......
BalasHapusYth Bpk Anan Nur, tanpa mengurangi rasa hormat sy, ini adalah tulisan saya pd thn 2010 (hhttp://masimamgun.blogspot.com/2010/01/model-pengembangan-kurikulum-dan.html). Alangkah lebih bijak jika mencantumkan sumbernya ........
BalasHapusbahannya bagus pak...
BalasHapusBoleh ambil buat bahan pembelajaran ya...
trima kasih.
trima kasih atas materinya, copas y pak
BalasHapusSubhanalloh,, Semoga ilmunya bermanfaat. amin
BalasHapussemoga menjadi amal ibadah....
BalasHapusIzin share ya, Pak..
BalasHapuswah ini nih yang dicari,, makasih pa,,
BalasHapusizin nyedot donkk
mantapppppppppp
BalasHapusbermanfaat sekali...sangat membantu...kalau boleh minta tolong,,saya sedang mencari teori dan design untuk pengembangan kurikulum...mohon reverensinya ke acilww165@gmail.com
BalasHapusterima kasih sebelumnya...
terima kasih, ini sangat membantu
BalasHapusterima kasih, ini sangat membantu
BalasHapusterima kasih, ini sangat membantu
BalasHapusSaya tertarik dengan ulasan Anda tentang Sosiologi. Terima kasih atas pencerahannya.
BalasHapusmkasi...,
BalasHapusbrkat anda, tgas saiya jd brez...
sangat bermanfaat bg pengembangan kurikulum
BalasHapusterima kasih, ilmux sangat membantu
BalasHapuswah membantu buat tugas Telaah saya.Tq.
BalasHapusmakasih yaa
BalasHapusthx bos artikelnya :)
BalasHapustrims
BalasHapusilmu yang manfaat dikembangkan oleh orang yang selalu mendapat petunjuk-Nya amin
BalasHapusilmu selalu berkembang...tlg sebarkan ilmu
BalasHapussiip
BalasHapusArtikel ini sangat penting untuk menambah pehaman lebih lengkap tentang pengembangan kurikulum
BalasHapusoce
BalasHapusThnks,,,,sangat membantu tuk tgs2 saya
BalasHapussyukronn
BalasHapusoke
BalasHapustmbhn ilmu
BalasHapussangat bermanfaat bapak
BalasHapussaya seorang mahasiswa dari pgsd
akan tetapi saya ingin bertanya mengenai prinsip kontinuitas, dimana kurikulum harus berkesinambungan, baik secara vertikal maupun horizontal.
nah, yang saya tanyakan penerapannya di sekolah itu bagaimana?
mohon jawabannya
terima kasih
tenks min
BalasHapus