A.
Pengertian Sosiologi Pendidikan
Perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat Eropa pada
sekitar awal abad ke-20 menyebabkan manfaat sosiologi menjadi penting dalam
mendampingi proses-proses pendidikan di Eropa.
Perkembangan tersebut merupakan efek dari revolusi sosial
di berbagai penjuru wilayah Eropa yang memicu akselerasi perubahan arah
perkembangan masyarakat Eropa. Era transisi perubahan sosial tersebut
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis yang tak terduga-duga kedatangannya,
antara lain merebaknya keraguraguan akan nilai dan tatanan normatif yang telah
mapan mengalami erosi jika tidak dilakukan penguatan orientasi.
Bantuan ilmu sosiologi dengan segala komponen konsepsionalnya
mendapat sambutan positif dari kalangan praktisi pendidikan, sebagai wujud
alternatif untuk memperkuat ketahanan sosial melalui pendidikan. Manifestasi
tersebut ditandai dengan kelahiran sosiologi pendidikan sebagai produk keilmuan
baru.
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat
sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut
totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat.
Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku
dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan
sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan
adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang
secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang
termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu
pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas
kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan
penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek
penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku
manusia dan institusi sosial yang terkait dengan pendidikan. Tingkah laku itu
hanya dapat dimengerti dari tujuan, cita-cita atau nilai-nilai yang dikejar.
Sebagaimana dalam terminologi sosiologi, sosiologi pendidikan berbicara tentang
pandangan tentang kelas, sekolah, keluarga, masyarakat desa, kelompok- kelompok
masyarakat dan sebagainya, masing-masing terangkum dalam wilayah suatu sistem
sosial. Tiap-tiap sistem sosial merupakan kesatuan integral yang mendapat
pengaruh dari :
(1) sistem sosial yang lain,
(2) lingkungan alam,
(3) sifat-sifat fisik manusia dan
(4) karakter mental penghuninya.
(1) sistem sosial yang lain,
(2) lingkungan alam,
(3) sifat-sifat fisik manusia dan
(4) karakter mental penghuninya.
Sosiologi pendidikan telah memiliki lapangan penyelidikan,
sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Menurut Dodson (dalam
Faisal dan Yasik, 1985) sosiologi pendidikan mempersoalkan pertemuan dan
percampuran dari lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas sedemikian rupa
sehingga terbentuknya tingkah laku tertentu dan sekolah atau lingkungan
pendidikan dianggap sebagai bagian dari total cultural miliu. Selaras dengan
pendapat di atas, E. Goerge Payne (dalam Faisal dan Yasik, 1985) yang merupakan
bapak sosiologi pendidikan memberikan penekanan bahwa dalam lembaga-lembaga,
kelompok-kelompok sosial dan proses sosial terdapat hubungan yang saling terjalin,
di mana di dalam interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisasikan
pengalamannya.
Penjelasan tersebut melekat kuat aspek sosiologisnya.
Sementara dari segi paedagogisnya, bahwa seluruh individu dan masyarakat dari
anak-anak sampai orang dewasa, kelompok-kelompok sosial dan proses-proses
sosialnya, berlangsung di seputar sistem pendidikan yang selalu bergerak
dinamis.
B.
Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Masalah-masalah
yang diselidiki sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok berikut
ini.
1.
Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat
a. Hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur
sosial,
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan,
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan,
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan,
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan,
d. Fungsi sistem pendidikan dalam
proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e. Fungsi sistem pendidikan formal
bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2.
Hubungan antarmanusia di dalam sekolah Lingkup ini lebih condong menganalisis
struktur sosial di dalam sekolah yang memiliki karakter berbeda dengan relasi
sosial di dalam masyarakat luar sekolah, antara lain yaitu:
a. Hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan
kebudayaan di luar sekolah, dan
b. Pola interaksi sosial dan struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
b. Pola interaksi sosial dan struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
3. Pengaruh sekolah terhadap perilaku
dan kepribadian semua pihak di sekolah/lembaga pendidikan
a. Peranan sosial guru-guru/tenaga pendidikan,
b. Hakikat kepribadian guru/ tenaga pendidikan,
c. Pengaruh kepribadian guru/tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak/peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah/lembaga pendidikan dalam sosialisasi murid/peserta didik.
a. Peranan sosial guru-guru/tenaga pendidikan,
b. Hakikat kepribadian guru/ tenaga pendidikan,
c. Pengaruh kepribadian guru/tenaga kependidikan terhadap kelakuan anak/peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah/lembaga pendidikan dalam sosialisasi murid/peserta didik.
4. Lembaga Pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga pendidikan
dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar
sekolah/lembaga pendidikan.
Hal yang termasuk dalam wilayah itu
antara lain yaitu :
a. Pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah/lembaga pendidikan,
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistemsistem sosial dalam masyarakat luar sekolah,
c. Hubungan antarsekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.
a. Pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah/lembaga pendidikan,
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistemsistem sosial dalam masyarakat luar sekolah,
c. Hubungan antarsekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.
B. PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP DUNIA
PENDIDIKAN
Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat
analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas
pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun
pada taraf konstelasi di tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat
sebuah gambaran objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi
total realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman tersebut segala
bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna membedah tubuh pendidikan kita
menjadi perlu untuk dibahas agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah
yang kurang relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran
sejarah perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kemajuan sosial,
meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan
penerapan inovasi teknologi merupakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih
payah lembaga pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indonesia.
Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan bakar lajunya lokomotif
kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang
melingkari dunia pendidikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output
pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita memerlukan banyak
perbaikan. Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi dan
keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini akan mengarahkan
lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat peran dan fungsi lembaga sekolah
sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus
pembahasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul pertama,
banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia pendidikan dalam wadah
organisasi formal. Di sini kriteria sekolah sebagai salah satu wujud organisasi
formal ditinjau dari kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses
mencapai tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks
transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab ruang kelas
merupakan representasi dari proses-proses pendidikan yang sesungguhnya, karena
di dalamnya telah melibatkan komponen-komponen belajar mengajar secara
langsung. Sedangkan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari
kenyataan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah eksternalnya.
Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak merupakan salah satu faktor
penting yang berpengaruh terhadap proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan.
A. Sekolah sebagai Organisasi
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap dunia pendidikan.
A. Sekolah sebagai Organisasi
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lembaga-
lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhankebutuhan hidup mereka.
Contohnya masyarakat Indian yang tidak perlu meminta bantuan lembaga sekolah
untuk mengajarkan kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi mereka,
cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya maka bisa
dipastikan hampir seluruh remaja-remaja muda mampu menguasai teknik memanah
dari tingkat dasar sampai kategori mahir (Horton dan Hunt, 1999: 333). Seiring
dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada
fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–kemampuan gemilangnya telah menjadi
penentu arah kehidupan di masa yang akan datang.
Beberapa faktor telah melatar belakangi terbentuknya
lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di
antaranya, (1) pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat
penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata
kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan (3)
implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional. Secara
singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf
perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan
perangkat perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani
secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara
khusus mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk
ditransformasikan kepada para generasi muda agar terjamin kelestariaannya
merupakan cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga
pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara,
keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern.
Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan
taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte
(1798-1857) dengan karyanya yang berjudul Course de philosophie Positive
(1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat yang terdiri dari tiga
jenjang, yaitu jenjang teologi di mana manusia mencoba menjelaskan gejala di
sekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan
selanjutnya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap
fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak.
Hingga pada level tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai
dengan prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial
berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif
(Sunarto, 2000 : 3).
Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya
mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap
melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern. Di lain pihak, tak kalah
pentingnya buah pikiran Emile Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul
The Division of Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan
masyarakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam pemetaan
bidang-bidang ekonomi, hukum, politik pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga.
Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di
dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan
dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya (Johson, 1986 : 181-184).
Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada
konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia
profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur
manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan
manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat
dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir.
Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga
masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya yang mengemban
konsekuensi-konsekuensi organisatoris. Oleh karena itu keberadaan sekolah patut
dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis
dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip penerapan birokrasi
juga terdapat dalam lembaga sekolah antara lain:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal (Robinson, 1981: 241).
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal (Robinson, 1981: 241).
Sekolah memang tidak menggunakan semua ketentuanketentuan
di atas secara ketat dan linear. Kaitan dengan hal tersebut, Bidwell ,1965
(dalam Robinson, 1981). berpendapat bahwa sekolah mempunyai ciri “struktur yang
longgar”. Yang dimaksud dengan kelonggaran struktural oleh Bidwell adalah
prasyarat prasyarat mutlak dari kekuatan-kekuatan struktural tidak harus
dilaksanakan sepenuhnya oleh guru dalam menerapkan metode belajar-mengajar
kepada para siswanya. Tiap guru mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan
bagaimana ia mengajar di kelas, walaupun perangkat-perangkat materinya telah
ditentukan oleh kurikulum di atasnya Masih dalam lingkup sekolah sebagai
organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen
yang berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson,
1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
2. Sistem
Sosio-teknis
Sebagai sistem
sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi, namun
stafnya akan “mengetahui” sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat
menentukan instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang optimal.
Sampai di sini definisi sosio-teknis memberikan titik tekan pada pengamatan dan
pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan
cara-cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis
masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa unsur yang
melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki
oleh sistem sosio-teknis.
oleh sistem sosio-teknis.
3.
Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah . Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah . Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
4.
Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilainilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pandangan yakni:
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilainilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pandangan yakni:
a. Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara kolektif. Di mana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi flksibel agar para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981: 252).
b. Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981 : 254).
Berbagai
pandangan di atas telah menandaskan aspek-aspek penting yang berperan dan
berinteraksi di dalam sekolah. Pada kenyataannya seluruh konsep manajemen yang
ditekankan oleh masing-masing ahli tersebut selalu tercantum di dalam sekolah.
Tentunya fungsionalisasi masing-masing model manajemen di atas tergantung pada
konteks pandangan manusia yang mengamatinya. Apabila pada aspek makro maka
dominasi gabungan fungsi manajemen sistem, sosio-teknis dan ilmiah lebih
berperan penting dalam membantu kerja penglihatan intelektual kita. Berbeda
pada dimensi yang lebih mikro, maka tipe ideal pendekatan individual adalah
aspek yang harus diperhatikan dalam menelah unsur-unsur yang bermain di dalam
sekolah.
Dalam
hal ini kita akan lebih condong mengamati organisasi sekolah dalam skala
makronya. Analisis sosial yang muncul seputar sekolah banyak mengupas
konflik-konflik antar peranan yang terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang
diungkapkan oleh Davies, 1973 ( dalam Robinson, 1981 : 250) bahwa lembaga
pendidikan sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan
antarpihak baik dari para guru, orang tua, staf birokrat, siswa, maupun pihak
aparat pimpinan sekolah.
Dari
sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai
lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua lahan
persoalan yakni:
1.
Penafisiran multi-konsep tentang tujuan
organisasi beserta alokasi peran yang sinergis
Sudah
menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga.
Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak
unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi
peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat
pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan
yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang
jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan,
tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan maksimal”
bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur pabrik, buruh angkutan,
sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas mengartikan definisi tujuan
tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan
agak kabur. Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran
para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman
makna tujuan pendidikan antar posisi.
Berdasarkan
struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran
kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal
administratur sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai
ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi
mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah
tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan
apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam
penafsiran. Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang
cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan berhadapan
langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar lingkungannya. Spesifikasi
tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah ternyata harus bersinggungan erat
dengan alokasi peran pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga.
Berkaitan
dengan hal tersebut, suatu observasi ilmiah yang dilakukan oleh Universitas
Havard telah menunjukkan hasil yang cukup dramatis. Setelah diteliti, para guru
di sekolah-sekolah New England memiliki pandangan yang berbeda tentang tujuan
pendidikan, begitu juga antar guru dengan kepala sekolahnya, selain itu
indikasi serupa ditunjukkan perbedaan nilai antar administratur dengan Badan
Pertimbangan Sekolah. Lebih jauh bukti penelitian juga menunjukkan sumber utama
yang melahirkan konflik di kalangan praktisi sosial tentang tujuan dan
program-program sekolah (Faisal, 1985: 69).
Dipandang
dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah harus melakukan bermacam-macam
proses penyatuan pandangan baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi
publik di lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan
konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola pola hubungannya
dengan pihak internal maupun luar lembaga
sekolah.
sekolah.
2. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks
pertentangan tersebut merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang
memiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang
mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah
harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor
yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami
kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan
status pekerjaannya. Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab
dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada
seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsifungsi peran yang berbeda baik dari
aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran
penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para
siswa.
Dalam
analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal sekolah disebabkan
pada rangkaian hak dan kewajiban yang mempengaruhi harapan para pemegang status
pekerjaan. Ruangruang
kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenuhan kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai polapola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya.
B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson, 1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenuhan kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai polapola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya.
B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas. Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argumentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Berkaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson, 1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang memanfaatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipologi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri (Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis
lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan antarguru dan siswa berasal dari
dualisme ketegangan peran guru di dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah
seorang guru harus menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat
kepada murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai pendidik
yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalanghalangi penerapan sanksi kepada
siswa tersebut.
Sebagai
sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk konfigurasi sosial di
dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak konsep diferensiasi mengacu pada
praktik organisasi penentuan penghuni kelas berdasarkan prestasi-prestasi
siswa. Tentunya implikasi dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya
polarisasi antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan
si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi
antarkelompok maka proses penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan
cukup kaya. Sebaliknya apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan
demikian justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada
umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti subjektifitas
perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok siswa yang menyenangkan
perasaannya. Sekali lagi jika hal terakhir yang terjadi maka kecemburuan sosial
malah menjadi iklim pergulatan sosial di lingkungan kelas.
Patut
ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan
antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok
aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan
merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan
tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis di atas, dapat
memberikan wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan
pembinaan siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).
C. Lingkungan Eksternal Sekolah
C. Lingkungan Eksternal Sekolah
Kita
tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh
kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah
kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan
selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas
mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang
terletak di lereng gunung. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun
kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di
sekolah. Tentunya tidak mungkin, sekolah ”lereng gunung” mengembangkan
ekstrakulikuler yang luar biasa padat dan wajib diikuti oleh seluruh siswa.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan Yasik, 1985 : 77).
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan Yasik, 1985 : 77).
Kontribusi
berikutnya adalah benturan konflik antarperan tenaga kependidikan dengan
posisi-posisi lain di masyarakat. Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak
harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah
berbenturan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan (Faisal dan Yasik,
1985 : 79). Dampak dari konflik ini kadang mengganggu stabilitas individu atau
bisa jadi dapat meluas pada segi-segi materiil di lingkungan sekolah.
Seorang guru olah raga yang sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan tersebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan eksternal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Seorang guru olah raga yang sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan tersebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan eksternal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Melalaui analisis
sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji
kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan
pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi
pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya,
dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
Sumber :http://www.uns.ac.id
Sumber :http://www.uns.ac.id
kalao buku dalam bahasa inggris, belum ada pak, yang ada hanya dalam buku bahasa indonesia pak, itupun book report kawan kemaren.
BalasHapustrimakasih telah memberi solusi dengan tulisan bapak
BalasHapussama-sama,,sayang....=D
HapusTrmksih pak,,,,,,,
BalasHapusThanks
BalasHapustulisan ini sangat bermanfaat buat saya
BalasHapusbagus
BalasHapusdi gunakan dengan baik ya yar berguna buat semua orang
Hapussangat bermanfaat buat saya..
BalasHapusSIip :)
BalasHapusSIp...sy ambil yo...
BalasHapusBos minta Flex yo...
BalasHapussaye izin copas ye
BalasHapusizin copas om..
BalasHapustrims,, telah memuat tulisan ini.
sangat berguna dan bermanfaat bagi saya.
bagus..sangat bermanfaat:-) tingkatkan!
BalasHapusbaguuuussss,,,sgt bermanfaat,
BalasHapusSip
BalasHapusThanks. Pak. Moga2 bermanfaat
BalasHapusgood ...
BalasHapustapi ruang bahasannya terlalau sederhana
mantap
BalasHapusbaik
BalasHapusTerima kasih ya
BalasHapusbaik. makasih dah siapin materi yang kami butuhkan
BalasHapusbagus
BalasHapusmakasih dah membantu tugas saya
BalasHapusjadi hubungan antara pisikologi pendidikan dengan sosiologi pendidikan apa ya ?
BalasHapusit's helping me to full fil my graduation paper, thanks..
BalasHapusSIIIIIIP
BalasHapusthank....uda bntuin bwt tugas saya....
BalasHapusbgussss
BalasHapusvary good
BalasHapusnompang copy mas buat Tugas
BalasHapussip
BalasHapuspimjam buat tugas sekolah
BalasHapuspinjam buat tugas sekolah
BalasHapusterimakasih banya telah membantu tugas saya
BalasHapusgooooooooooooood
BalasHapussbnnernya saya ga perlu coment untuk copy paste..tp saya menghargai pstingannya..
BalasHapusmakasih
BalasHapusizim kopas
BalasHapusoke bagus makasih
BalasHapussangat bagus
BalasHapusthanks
BalasHapussipz oye
BalasHapusIzin kutip yah pak.. ^__^
BalasHapussippz
BalasHapusbaguzzz
BalasHapusbaguzzz
BalasHapusbagus ni buat bahan makalah
BalasHapusbagus ni buat bahan makalah
BalasHapusbagus ni buat bahan makalah
BalasHapusbisa ni buat bahan makalah
BalasHapusbahan masak2 juga bisa kyk nx tuh....
Hapusbgus tuk nambah materi nee
BalasHapusbagus, saya izin utk download. Semoga bermanfaat
BalasHapusmakasih...
BalasHapusSiip pak terima kasih
BalasHapusmakasih
BalasHapustq,,
BalasHapusmakasi atas materix
BalasHapustanks atas materinya
BalasHapusbagus
BalasHapusbagussss
BalasHapusbisa buat bahan makalah gan :)
BalasHapusiya dong makalah sosiologi era modern nya mana?
BalasHapusapa artikel ini termasuk pendidikan era modern juga??
BalasHapusartikelnya sangat bermanfaat
BalasHapusgoood
BalasHapus