1 . Pendahuluan
Sesungguhnya semenjak jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang
serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan meru-pakan faktor
yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta
membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, me-reka berpendapat
bahwa disamping melalui organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan
per1u dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa
itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan
pada ke-pentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang
sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat
secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat
tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu
didirikan pula lembaga-lembaga pendidikan umum nasional seperti Muhamma-diyah,
Taman Siswa dan lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya.
Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, arah pendidikan
kita men-jadi lebih jelas, meskipun hakikat dan tujuannya pada dasarnya tetap
sama, yaitu mencerdaskan serta meningkatkan kua1itas kemampuan bangsa. Namun
demi-kian, upaya pendidikan pada masa sesudah prok1amasi kemerdekaan
barangkali memiliki dimensi yang 1ebih 1uas dan lebih komplek, karena
menyangkut ke-mampuan survival bangsa dalam mepertahankan dan mengisi
kemerdekaan. Proses dan hasi1 pendidikan harus mampu menjawab tantangan-tantangan
dan kebutuhan bangsa akan sumberdaya manusia yang trampil dalam berbagai
jenjang pendidikan serta dalam berbagai jenis keterampilan yang bervariasi.
Kita semua menyadari bahwa pada masa-masa yang akan datang kema-juan dan
kejayaan suatu negara tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekayaan
sumberdaya alam, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumberdaya
manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya insani merupakan suatu
usaha besar dan vital yang sela1u diupayakan serta menjadi pusat perhatian
se-tiap negara yang ingin memajukan bangsanya. Usaha dan perjuangan suatu
ne-gara dalam meningkatkan kecerdasan serta kemampuan bangsanya dapat dilihat
dalam sistem pendidikannya.
Maka1ah ini dimaksudkan untuk membahas sistem pendidikan nasional sebagai upaya
untuk membangun struktur dan strategi pendidikan dalam rangka peningkatan
kualitas sumberdaya manusia Indonesia, terutama dilihat dari segi konsepsi
serta tujuan yang ingin dikejar, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta
strategi atau upaya-upaya nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Di samping itu, realisasi serta praktek pelaksanaannya di
lapangan juga dibahas serta persoalan-persoalannya di identifikasikan da1am
usaha untuk menemu kan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya .
2.
Konsep Sistem Pendidikan Nasional
a. Definisi
Tidak begitu mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai mengenai sistem
pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada
konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang
pendidikan nasional. Perlu pula disadari bahwa konsep me-ngenai pendidikan dan
sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek
pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus
dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang me-landasinya seperti yang
biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang
Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai
pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk perta-ma undang-undang
pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan definisi
tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan na-sional, maupun konsep sistem
pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh Mr.
Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Penga-jaran dan Kebudayaan pada waktu itu,
dikemukakan bahwa pendidikan nasi-onal merupakan landasan pembangunan
masyarakat nasional, yaitu masya-rakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena
itu, sistem pendidikan dan pe-ngajaran lama secara berangsur-angsur harus
digantikan dengan sistem pendi-dikan dan pengajaran nasional yang demokratis.
Memang dapat dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan
nasional meru-pakan reaksi dari sistim pendidikan kolonial yang bersifat
diskriminatif dan elitis.
Pengertian yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan na-siona1 dan
sistem pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang
ini pendidikan didefinisikan sebagai
"Usaha sadar dan terencana un-tuk
mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara” ( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai
"pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
(pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional
adalah "keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan
demikian, sistem (pendi-dikan nasiona1 dapat dianggap sebagai jaringan
satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Unsur-unsur
Pokok Sistem Pendidikan nasional
Kazik (1969:1) mendefinisikan sistem sebagai "organisme yang diran-cang
dan dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-kumponen
yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain yang harus berfungsi sebagai
suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditetapkan
sebelumnya". Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok: (1) tujuan, (2) isi
atau komponen, dan (3) proses. Kalau pendidikan nasional kita benar-benar
merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki tiga unsur pokok
tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan
dan berinteraksi secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan)
dibangun dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun
dari komponen-komponen dan kom-ponen-komponen bagian yang semuanya itu
membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang telah
ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta berfungsinya
komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan tujuan sistem merupakan
proses sistem tersebut.
1) Tujuan
Pendidikan Nasional
Apa tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau
pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem
pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan sistem
pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada
masa penjajahan secara formal tidak berakar pada kebudayaan nasional dan tidak
berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya,
rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional harus dicari dari
dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Sejak proklamasi kemerdekaan, tujuan pendidikan telah mengalami beberapa kali
perubahan, mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada masa-masa
tersebut misalnya, pada masa permulaan kemerdekaan, tujuan pendidikan terutama
berorientasi pada usaha "menanamkan jiwa patriotisme" (S.K. Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 104/Bhg. 0, tanggal 1 Maret 1946},
karena pada masa itu negara ingin menghasilkan patriot bangsa yang rela
berkorban untuk negara dan bangsa. Dengan semangat tersebut diharapkan
kemerdekaan bisa dipertahankan dan dengan semangat itu pula kemerdekaan akan
diisi.
Dengan keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950, rumusan tujuan pendidikan dan
pengajaran mengalami perubahan. Pasal 3 undang-undang tersebut menetapkan bahwa
"tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang
cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air". Tekanan tampaknya diletakkan pada
pembentukan warga negara yang demokratis dan warga negara yang bertanggung
jawab sebagai antitesa warga masyarakat terjajah. Tujuan pendidikan ini tidak
mengalami perubahan sampai pada saat undanq-undang No. 4 Tahun 1950
diberla-kukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai Undang-undang
no. 12 tahun 1954.
Pada tahun 1965, pada saat Indonesia berada di bawah gelora Manipol/Usdek, rumusan
pendidikan nasional disesuaikan dengan situasi politik pada masa itu. Melalui
Keputusan Presiden Repu1ik Indonesia No. 145 tahun 1965 tujuan pendidikan
nasional dirumuskan sebagai berikut :
“Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang dise1enggarakan oleh
pihak Pemerintah maupun Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan
Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang
bertanggung jawab atas terse1eng-garanya masyarakat Sosialis Indonesia, adi1
dan makmur baik spirituil dan materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a)
Ke-Tuhanan yang Maha Esa, (b) Prikemanusiaan yang adil dan beradab, (c)
Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial seperti dijelas-kan dalam
Manipol/Usdek".
Sesudah terjadinya peristiwa G30S/PKI, kembali rumusan tujuan pendidikan
mengalami perubahan. Berdasarkan ketetapan Majelis Permu-syawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia No. XXVII/MPRS /1966, tujuan pendidikan dirumuskan
sebagai berikut: "Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945". Pada masa ini
tujuan pendidikan tampaknya diti-tikberatkan pada pembentukan
manusia Pancasilais sejati, karena pada masa itu barangkali
banyak ditemukan manusia Pancasilais palsu yung tidak
sepenuhnya berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilihan umum menge1uarkan ketetapan No.
IV/MPH/1973 yang dikenal dengan nama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam ketetapan tersebut dirumuskan pula tujuan nasional pendidikan yang baru
berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan pada hakikatnya ada1ah
usaha sadar untuk mengem-bangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar
sekolah dan berlangsung seumur hidup. 0leh karenanya, agar pendidikan dapat
dimiliki o1eh se1uruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu,
maka pendidikan ada1ah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah.
Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan
diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila dan
untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memi1iki
pengetahuan dan keterampilan, dapat me-ngembangkan kreativitas dan tanggung
jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
men-cintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang
temaktub dalam dalam Undang-undang Dasar 1945".
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 2 Tahun
1989. Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan yang berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampi1an , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sementara itu, rumusan tujuan pendidikan nasional yang terbaru dapat dibaca
dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang menegaskan bahwa : “Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Mempelajari rumusan-rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas beberapa
kesimpulan dapat ditarik:
a)
Tujuan pendidikan nasional cukup sering berubah mengikuti perubahan situasi
politik yang terjadi pada suatu masa.
b)
Tujuan pendidikan yang dirumuskan pada umumnya sangat idea1istis, dan
tampaknya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan kesulitan dalam
pelaksanaannya di1apangan.
c)
Perubahan tujuan tampaknya tidak secara maksimal diikuti dengan perubahan
strategi dan piranti yang memungkinkan tujuan tersebut dapat diwujudkan.
2)
Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Lepas dari sega1a variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dike-mukakan di
atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang di-maksudkan untuk
membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan
golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemam-puan
inte1ektua1, kemampuan sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional,
kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang
beraneka ragam tersebut diperlukan satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan
yang merupakan komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen
sistem pendidikan nasional tersebut dapat dibagi dalam dua go1ongan besar
yaitu: (1) Satuan Pendidikan Sekolah dan (2) Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendi-dikan
yang bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari jenjangnya,
pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Prasekolah, Pendidikan
Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Dilihat dari sifatnya,
pendidikan sekolah dapat diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendjdikan
keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluar-ga,
pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan
pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan pendidikan ini bisa
bersifat informal, formal, maupun
formal.
Sebenarnya masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai potensi untuk
meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut adalah
pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang diperoleh secara
otodidak melalui membaca, memper-hatikan, bertanya, mencari tahu serta
bentuk-bentuk pendidikan informal lain yang dipero1eh dari berbagai
media massa dan sumber belajar 1ainnya.
Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi
setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masya-rakat belajar melalui
proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan
pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua warganegara yang memerlukan
dan siap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan
pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam
suatu kesatuan sistenm yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita
pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padaha1
Iandasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar penga-ruhnya bagi proses
pendidikan anak se1anjutnya. 0leh karena itu partisipasi keluarga dalam proses
pendidikan per1u ditingkatkan .
Keberhasilan komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya
juga tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu
berfungsinya komponen-kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut.
Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita ada1ah:
kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan pengelolaan .
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20
tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum disusun sebagai alat untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasiona1. Kuriku1um pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan : peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia;
peningkatan potensi,kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi
daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia
kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika
perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20
thn 2003 pasal 36).
Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan.
Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan ke-giatan mengajar, melatih,
meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam
bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan
pendidikan, penilik, penga-was, peneliti dan pengembang dalam bidang
pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Mereka seharusnya
merupakan orang-orang yang profesional yang menguasai tugasnya dan memiliki
dedikasi dalam melaksanakan tugasnya.
Berhasilnya suatu satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang
dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan
perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar
dan dana yang memadai.
Meskipun pengelolaan pendidikan nasional berada di bawah tang-gung jawab
Menteri Pendidikan Nasional, sebagian tanggung jawab pengelolaan perlu
diserahkan kepada pejabat yang langsung berhadapan dengan penyelenggaraan
proses pendidikan.
3) Proses
Sistem Pendidikan Nasional
Yang dimaksud proses dalam sistem pendidikan nasional adalah mekanisme kerja
dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang memungkinkan
seluruh komponen sistem pendidikan (pendidikan luar sekolah dan pendidikan.
sekolah untuk berbagai jenis dan jenjang) bekerja dan menunaikan fungsi untuk
mencapai tujuan yang te1ah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut meliputi
aturan-aturan mengenai persyaratan masuk ke dalam suatu jenjang dan/atau jenis
pendidikan, mata ajaran yang dipelajari dan untuk berapa lama dipelajari,
buku-buku yang dipergunakan, prosedur dan tata cara penyelenggaraan pengajaran
termasuk metode mengajar dan sistem evaluasi yang dipergunakan, banyaknya
pertemuan dalam satu minggu, serta sejumlah aturan lain yang menyangkut
pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran.
Sebagian dari aturan-aturan ini ditetapkan dalam bentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, instruksi dari pejabat pendidikan pada berbagai
tingkatan dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan sendiri oleh suatu satuan
pendidikan baik yang dinyatakan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Kerapkali komponen-komponen sistem pendidikan yang ada tidak mampu menunaikan
fungsinya dengan baik karena tidak ada aturan yang menuntun proses kerjanya,
atau karena aturan-aturan yang ada kurang memadai atau seringkali berubah-ubah.
Oleh karena itu, aturan-aturan yang bersifat fundamental perlu ditetapkan dalam
bentuk ketetapan yang lebih permanen sifatnya seperti undang-undang atau
peraturun-peraturan pemerintah.
Tidak semua aturan yang
menuntun proses penyelenggaraan pendidikan harus diatur melalui
undang-undang atau peraturan pemerintah. Aturan-aturan yang bersifat lebih
dinamis dan mudah berubah sebaiknya ditetapkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan
yang dapat diubah dengan cepat.
3.
Realisasi Si.stem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
a. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang kita anggap sebagai sumber utama gagasan
sistem pendidikan nasional belum genap berusia 1 tahun. Oleh karena itu,
mungkin masih terlalu dini untuk menilai realisasi serta pelaksanaannya di lapangan.
Peraturan-peraturan pemerintah yang membe-rikan pedoman pelaksanaannya belum
disusun. Setelah ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan pemerintah itu
disusun barulah dapat dirancang kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. Berdasarkan
gambaran di atas, dapat diperkirakan bahwa realisasi pelaksanaan undang-undang
mengenai sistem pendidikan nasional secara utuh akan masih memerlukan waktu.
Masyarakat mungkin menaruh harapan yang besar akan kemampuan undang-undang ini
dalam menangani masalah-masalah pendidikan. Ada kesan bahwa semua persoalan
pendidikan akan bisa diselesaikan - setidak-tidaknya akan lebih mudah
diselesaikan - setelah undang-undang ini diberlakukan. Harapan semacam itu
mungkin agak berlebihan, karena fungsi utama undang-undang ini pada dasarnya
adalah sebagai sumber acuan untuk memulai langkah-langkah pembenahan dalam
upaya pendidikan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat
hal-hal yang diatur dalam undang ini menjadi suatu kenyataan.
Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua
kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan nasional
hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk menuju
arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pe1aksanan
pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di
barisan paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan
lainnya.
b.
Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat
masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah
keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
1)
Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada
akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan,
internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan ke-pribadian. Di samping
itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau
banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa
dilakukan oleh lulusan tersebut.
2)
Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif
daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada
penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achie-vement)
(Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar
daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam
bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
3)
Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih
ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan
di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih
belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik
yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru
berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
4)
Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala,
khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan
sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Admi-nistrasi
serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat
sentra1istis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh karena itu
persoa1an-persoa1an pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat,
efektif dan efisien.
Apabila kondisi
pendidikan seperti ini
berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat
bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang . Dalam menghadapi
persa-ingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang
ekonomi, manusia Indonesia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang
berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang
sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia
yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup
bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di
samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar
sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut.
Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada
kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan
cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak aval untuk mencapai
prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkankan pada bakat dan
kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan Amerika lebih mengandalkan
hasil pendidikannya dari anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi ( Gordon,
1987; Sidabalok, 1989 ).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah
meletakkan landasan bagi pembangunan sistem
pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam
pengembangan pendidikan 1ebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan
survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas
sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa
pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, maka sistem pendidikan nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan
masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.
c.
Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama
dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagai-mana
meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga
kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga
kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam me-ningkatkan mutu
pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta
kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Na-sional tidak secara eksplisit mengatur masalah
mutu pendidikan, melainkan
hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan,
peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi,
penge-lolaan dan pengawasan.
Mangieri (1985, hlm.1) menyebutkan 8 faktor yang paling
sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu
pendidikan. Kede-lapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang
ketat, guru yang kompeten, ci-ri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan
orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai,
disiplin yang kuat, dan keterikatan pada ni1ai-ni1ai tradisiona1.
Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pen-didikan Amerika dalam
laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk
merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam
bidang pendidikan dapat diwujudkan me1a1ui cara-cara berikut:
menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permu1aan
keterampi1an belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik,
sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksima1 mungkin, menerapkan aturan
yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi
guru.
Persoa1an kedua ada1ah bagaimana mendemokratiskan sistem pen-didikan dalam arti
yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur
agar sistem pendidikan nasiona1 kita memberikan ke-sempatan yang sama kepada
semua warga negara untuk mempero1eh pen-didikan secara demokratis. Namun dalam
praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam
mempero1eh pendidikan - yang cukup banyak diantaranya masih berkua1itas rendah
- be1um kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas
tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam
kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas
baru bisa diriikmati oleh sebahagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan
da1am kemampuan intelektua1 maupun kemampuan ekonomis.
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan mem-peroleh
pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan
menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan
menye-1enggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah
lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan
agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam
bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang
mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem insentif yang
mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan
nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat
menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak
yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di
Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi
dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan
memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang dise-lenggarakan dan
dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan mempe-roleh kesempatan untuk
rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu.
Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian
besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No.
20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat
mengikuti program wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3
mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat
demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya peningkatan kemampuan
warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaanya perlu
segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada
masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari
generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh
lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang
studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan
untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki
motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau
menghadapi kesulitan, dan lebih me-nyukai pelajaran yang mudah daripada
pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua
lembaga pendidikan untuk mena-namkan kesadaran kepada peserta didiknya akan
pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar
4.
Ringkasan dan Kesimpulan
Konsep dasar pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional te1ah dikemukakan.
Demikian pula konteks sejarahnya. Sistem pendidikan nasional mempunyai peranan
yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sum-berdaya manusia Indonesia
dimasa yang akan datang. Upaya pembangunan sistem pendidikan nasional yang
dapat diandalkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia yang seutuhnya merupakan suatu usaha besar yang cukup rumit
pengaturan maupun pe-1aksanaannya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat
vital. 0leh karena itu penanganan masa1ah pendidikan harus dilakukan secara
bersistem, karena tidak pernah akan tuntas kalau di1aksanakan oleh
lembaga-1embaga pendidikan secara individual melalui cara-cara yang bersifat
monolitik. Dengan perkataan lain, semua komponen sistem pendidikan (keluarga,
sekolah, masyarakat, media massa ) harus berperan serta. Namun demikian, agar
semua usaha tersebut dapat mencapai tujuannya secara rnaksimal, usaha-usaha
tersebut perlu diatur melaiui suatu strategi nasional yang memiliki landasan
yang kuat.
Melihat luasnya tujuan yang ingin dicapai, banyaknya komponen yang terlibat,
serta terbatasnya sarana pendukung dalam proses pelaksanaannya, realisasi
sistem pendidikan nasional tentu saja akan dihadapkan pada berbagai kendala.
Namun demikian, landasan sistem pendidikan nasional telah diletakkan
sebagai titik acuan dalam usaha melakukan pembenahan lebih lanjut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ardhana, Wayan
(1990). Atribusi terhadap sebab-sebah keberhasi1an
dan kegagalan,
serta kaitannya dengan
motivasi berprestasi,
Pidato pengukuhan Guru Besar,
IKIP Malang.
Ardhana, Wayan (1990). Hakikat
kewajiban belajar dalam menyongsong rintisan kewajiban belajar SLTP, naskah
tidak dipublikasikan.
Ardhana, Wayan (1991). Kebijakan
pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar
Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Bebby, C.E. (1982). Pendidikan di
Indonesia: Penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES, Jakarta.
Clifford, Margaret M. {
1990 ). Students need challenge, not easy success, Educational
Leadership, 48 (1), 22 - 34.
Cummings, William K. ( 1980 ). Education
and equality in Japan, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Dweck, Carol S. (1986). Motivational
processes affecting learning, American Psychologist, 41(10), 1040-1048.
Garder, David P. , chair ( 1983 ). A
nation at risk: The imperative of educational reform, The National
Commission on the Excellence in Education, Washington, D.C.
Gordon, Bonnie (1987). Cultural
Comparison of schooling, Educational Researcher, August - September,
4-7.
Naisbett, John & Aburdene, Patricia (
1990 ). Sepuluh arah baru untuk tahun 1990-In: Megatrends 200, Binarupa
Aksara,Jakarta.
Mangieri , John N, ( 1985 ). The
challenge of attaining excellence, dalam Mangieri, John N. ( Editor ) Excellence
in Education, Texas Christian University Press, Forth Worth,
Razik, T.A. (1969). The
fundamental of educational
planning: Lecture-discus-sion series No. 45, System
analysis and educational
design,Unesco: International Institute for Educational
Planning, Paris.
Sidabalok, Simon (1989). A.S.negara kaya
yang semu: Kedudukannya semakin terancam, Kompas,
l9 Nopember,
hlm.9.
---------
Undang-undang Republik Indonesia, No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Penjelasannya, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Repub1ik Indonesia, 1989.
.---------
Undang-undang Republik Indonesia,No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka
Ilmu, cet. 1 tahun 2003
terimakasih telah peduli terhadap pendidikan indonesia
BalasHapusmksh moga beguna
BalasHapus