Senin, 08 Agustus 2011

UJIAN SEMESTER SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Abstrak
Sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari  hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial. Kajian sosiologi pendidikan harus terus dilakukan oleh pemerintah, institusi-institusi yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan, khususnya sekolah dan para guru. Hal ini karena perkembangan dan perubahan sosial setiap saat selalu berubah. Tanpa diimbangi oleh kajian yang terus menerus untuk meningkatkan pendidikan mustahil kiranya tujuan pendidikan akan tercapai.
Sosiologi pendidikan bermula adanya permasalahan permasalahan pendidikan akibat berubahan sosial masyarakat yang begitu cepat dan itu tidak bisa terselesaikan oleh lembaga pendidikan. Kemudian para pakar sosiologi ingin menyumbangkan pemikiran pemecahan masalah tersebut dari sudut pandang disiplin sosiologi, dan lahirlah sosiologi pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi.
Dengan memahami dan pengkajian sosiologi pendidikan, teori sosiologi pendidikan (mikro-makro), dan metode penelitian sosiologi pendidikan dapat dimanfaatkan dalam memberikan sumbangsih pemecahan masalah masalah pendidikan.


A.      Pendahuluan
 E.G Payne mengatakan bahwa Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan. Sedangkan menurut Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis. Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat. Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi.
            Oleh karena itu mengetahui dan memahami seluk beluk sosiologi pendidikan sangat dianjurkan guna mendapatkan pengetahuan yang menunjang perkembangan ilmu itu sendiri dan aplikasinya dalm kehidupan baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B.       Sejarah Sosiologi Pendidikan
            Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu menimbulkan cultural lag. Cultural lag ini merupakan sumber masalah sosial dalam masyarakat. Masalah sosial itu di alami oleh dunia pendidikan. Dan lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya kemudian ahli sosiologi menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk memecahkan masalah itu, maka lahirlah sosiologi pendidikan.
            Sosiologi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berkembang di awal abad 20 dan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Bidang kajian sosiologi pendidikan sendiri, berangkat dari keinginan para sosiologi untuk meyumbangkan pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Dalam pandangan mereka, pada saat itu sosiologi pendidikan diasosiakan dengan konsep ”Educational Sociology.” Dalam perkembangannya, pada tahun 1914 sebanyak 16 lembaga pendidikan menyajikan mata kuliah ”Educational Sociology” pada periode berikutnya, muncul berbagai buku yang memuat bahasan mengenai ”Educational Sociology,” termasuk juga berbagai konsep tentang hubungan antara sosiologi dengan pendidikan. Selama puluhan tahun pertama, perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lamban. Perkembangan signifikan sosiologi pendidikan ditandai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Clarke menganggap sosiologi mampu menyumbangkan pemikiran bagi bidang pendidikan.
                        Sehubungan dengan penamaan sosiologi pendidikan, terdapat perdebatan yang cukup tajam tentang penggunaan istilah-istilah yang digunakan antara lain sociological approach to education, educational sociology of education, atau the foundation. Pada akhirnya dipilih istilah sociology of education dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan.
                        Adapun perkembangan sosiologi di Indonesia diawali hanya sebagai ilmu pembantu belaka, namun seiring timbulnya perguruan tinggi dan kesadaran bahwa sosiologi sangat penting dalam menelaah masyarakat Indonesia yang sedang berkembang maka sosiologi yang salah satunya adalah sosiologi pendidikan menempati tempat yang penting dalam daftar kuliah di beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
            Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu:
a.   fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b.   Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c.   sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d.   pada fase yang terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.




C.      Peletak Dasar Sosiologi
1.      Ibnu Khaldun
           Abu Zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun  Waliyuddin al-Tunisi al-Hadrami al-Isybili al-Maliki, dikenal sebagai sejarahwan dan sosiolog muslim yang banyak mengemukakan gagasannya tentang manusia. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di Tunisia, dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406. Ibn Khaldun dikenal pula sebagai bapak ilmu-ilmu social.
           Menurut Ibnu Chaldun, sosiologi adalah mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk itu dan hukum yang menguasai perkembangan.
           Sebagaimana diketahui bahwa ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam berbagai kitabnya, yang terutama dalam muqaddimahnya ia mengkaji “realitas realitas al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomene fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi. Sebagaimana perkataannya dalam muqaddimah3 “Ketahuilah bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan dunia, tentang perubahan perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok; tentang revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
           Adapun metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metoda yang ilmiah, karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak experimental.
Menurut Ibn Khaldun Masyarakat berbudaya di mana saja dalam menuju kemajuannya harus melalui tiga fase secara berurutan, yaitu:
1.    Fase primitif, yaitu fase yang bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatik. Pada fase ini masyarakat dikendalikan oleh adat istiadat dan kebutuhannya serta tidak dikendalikan oleh hukum.
2.    Fase perubahan masyarakat dari primitif ke masyarakat maju berbudaya. Pada fase ini muncul sebuah negara yang memiliki penguasa yang mengatur urusan-urusan masyarakat, dan penduduknya mulai tunduk dan patuh kepada hukum dan undang-undang.
3.    Fase timbulnya negara. Pada fase ini para penduduk saling bekerja sama dalam memelihara dan mempertahankan negara dari bahaya, baik yang timbul dari dalam maupun dari luar demi kestabilan dan keamanan. Pada fase ini pula kefanatikan terhadap golongan akan hilang[23]
           Menurut Ibn Khaldun, manusia itu lemah, pada mulanya bebal dan pada dasarnya egois (self centred). Di segi lain, menurutnya, Allah memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan pemikiran yang abstrak. Bertolak dari premis ini, ia menjelaskan masyarakat dari sudut keharusan, bukan dari sudut kealamiahan atau keotomatisan. Ibn Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja diciptakan guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk mempertahankan hidup. Pemikiran Ibn Khaldun mengenai sosiologi dapat ditemukan dalam karya monumentalnya yang berjudul “Al-Muqaddimah

2.      Auguste Comte
           Kata atau istilah ”sosiologi” pertama-tama muncul dalam salah satu jilid karya tulis Auguste Comte (1978 – 1857) yaitu di dalam tulisannya yang berjudul ”Cours de philosophie Positive.” Oleh Comte, istilah sosiologi tersebut disarankan sebagai nama dari suatu disiplin yang mempelajari ”masyarakat” secara ilmiah. Dalam hubungan ini, ia begitu yakin bahwa dunia sosial juga ”berjalan mengikuti hukum-hukum tertentu” sebagaimana halnya dunia fisik atau dunia alam. Berdasarkan hal diatas, kita tahu bahwa Comte menyakini dunia sosial juga dipelajari dengan metode yang sama sebagaimana digunakan untuk mempelajari dunia fisik atau kealaman.
            Aguste Comte dikenal sebagai bapak sosiologi, ia lahir di Montpellier tahun 1798. Ia merupakan seorang penulis kebanyakan, konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1.  Bersifat empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2.  Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil observasi.
3. Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang ada kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus
4.  Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
            Comte mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga tahapan perkembangan teori secara berturut-turut yaitu keagamaan atau khayalan, metafisika atau abstrak dan saintifik atau positif. Pada jenjang pertama, manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua, manusia mengacu pada kekuatan-kekuatan metafisik dan abstrak; dan pada jenjang ketiga, penjelasan alam maupun sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah (didasarkan atas hukum-hukum ilmiah).
            Sumbangan pemikiran Comte yang lain dalam bidang sosiologi adalah bahwa ia menyebut sosiologi sebagai “Ratu ilmu-ilmu sosial”. Ia membagi sosiologi ke dalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamic).  Statika  mewakili stabilitas, sedangkan dinamika mewakili perubahan.

3.      Emile Durkheim
           David Émile Durkheim di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine (15 April 1858 – 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Année Sociologique pada 1896
           Durkheim merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya-karya utamanya antara lain: The Division of Labor in Socity (1968), karya pertamanya yang berbentuk disertasi doktor; Rules of Sociological Method (1968); Suicide (1968); Moral Education (1973), dan The elementary Forms of the Religious life (1966).
           Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan  antara dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solodaritas organis. Solodaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan. Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, yang dinamakan “segmental” pada masyarakat ini tidak ada sistem pembagian kerja. Pada masyarakat ini apa yang dilakukan seseorang dapat pula dikerjakan oleh orang lain, sehingga tidak ada sikap saling ketergantungan dengan orang lain. Tipe solidaritas sosial yang didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh sesuatu yang oleh Durkheim dinamanakan conscience collective (hati nurani kolektif), yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
           Pada buku The Division of Labor in Socity, Durkheim menekankan pada arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena menurutnya pembagian kerja berfungsi untuk meningkatkan solidaritas. Pembagian kerja yang berkembang pada masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak mengakibatkan disintegrasi masyarakat yang bersangkutan, tetapi justru meningkatkan solidaritas karena bagian-bagian masyarakat menjadi saling bergantung.
           Pada buku Rules of Sociological Method, Durkheim menawarkan definisi mengenai sosiologi. Menurutnya, bidang yang harus dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berfikir, dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut. Di antara contoh-contoh yang dikemukan Durkheim mengenai fakta sosial adalah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim yang menjadi pokok perhatian sosiologi.
           Kalau Comte membagi sosiologi menjadi statika sosial dan dinamika sosial, maka Durkheim memperkenalkan pembagian berdasarkan pokok bahasannya, yaitu sosiologi umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi kejahatan, sosiologi konflik, sosiologi ekonomi, morfologi, sosial, dan sejumlah pokok bahasan yang mencakup sosiologi estetika, teknologi, bahasa, dan perang.
           Paradigma Fakta Sosial Dikembangkan oleh Emile Durkheim dlm The Rules of Sociological Method th.1895 dan Suicide th . 1897. Ia mengkritik sosiologi yang didominasi August Comte dengang positivismenya bahwa sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan . Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research ) bukan dengan penalaran murni . Teori teori dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural , teori Konflik , teori Sosiologi Makro , dan teori Sistem.
           Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah : Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur social: jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub kelompok dibedakan . Pranata social: norma dan pola nilai.

Empat Proposisi yg mendukung kelompok sebagai fakta social
·     Kelompok dilihat melalui sekumpulan individu
·     Kelompok tersusun atas beberapa individu
·     Fenomena sosial hanya memiliki realitas dlm individu, dan
·     Tujuan mempelajari kelompok utk membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu

D.      Teori Sosiologi Makro
Teori sosiologi mengkaji secara sistematik dan objektif tentang tingkah laku sosial, mengkaji dan menerangkan tindakan di kalangan manusia, dan tekanan interaksi di kalangan manusia dalam interaksi timbal balik. Teori sosiologi Makro (mengkaji hubungan di kalangan struktur dan institusi sosial).
Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan adalah institusi pendidikan formal, dan institusi pendidikan formal terpenting dalam masyarakat adalah sekolah yang menawarkan pendidikan formal mulai jenjang prasekolah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus. Di samping pendidikan formal yang menjadi pokok bahasan utama sosiologi pendidikan, pendidikan non formal dan informal pun tidak luput dari perhatian para ahli sosiologi.

1.    Teori Struktural Fungsional
            Teori ini menganggap masyarakat sebagai suatu system dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik. Secara fundamental system sosial cenderung bergerak kearah equilibrium dan bersifat dinamis. Disfungsi / ketegangan sosial / penyimpangan sossial / penyimpangan pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Perubahan-perubahan dalam system sosial bersifat gradual melalui penyesuaian dan bukan bersifat revolusioner. Faktor penting dalam integrasi adalah konsensus.
            Tolcot Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
            Pokok-pokok pikiran para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.
            Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional - structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
            Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social. Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.
            Teori struktural, dimana teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang menedkankan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya dengan pendidikan, Talcot Parson mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya:
a.  Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Dimana sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat, dll) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya.
b.  Sekolah sebagai seleksi dan alokasi dimana sekolah memberikan motivasi-motivasi prestassi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
c. Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya.

2.    Teori Konflik
            Menurut ahli teori konflik, ahli fungsionalis sedang mendukung status quo dengan menguraikan masyarakat seolah-olah adalah dalam keadaan yang terbaik sama dengan yang diharapkan. Dalam arti perubahan tidaklah selalu berjalan secara normatif. Sebaliknya dalam setiap masyarakat apapun, konflik senantiasa ada dalam masyarakat, dan konflik merupakan bagian integral dalam dinamika kehidupan, serta tidak selalu negatif.
            Sebagai implikasinya, mereka berasumsi bahwa kapan saja suatu keuntungan kelompok, suatu kelompok yang berbeda besar kemungkinan akan mnguasai kelompok lain. Walaupun sebagian besar para ahli teori konflik mengakui betapa besar pengaruh Karl Marx dalam teori konflik tersebut, namun juga tidak sedikit peranan ahli teori konflok non-Marxis lainnya seperti Georg Simmel (teori superordinasi dan subordinasi, maupun konlik dengan out-group), Ralf Dahrendorf (teori otoritas dan konflik sosial, maupun teori kepentingan laten dan manifest), Lewis Coser (tentang fungsi-fungsi konflik dan macam konflik realistik dan non-realistik), maupun Randal Collins (teori konflik makro dan mikro).
            Teori Konflik yang didalanya tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menuru Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori konflik berangkat dari asumsi awal tentang adanya suatu ketegangan di dalam masyarakat dan bagian-bagiannya yang tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan dari individu dan kelompok. Teori ini dilandasi dari tulisan Karl Marx dan Max Weber tentang teori konflik.
Marx mendasari teori konflik dari kondisi sosial para pekerja yang dieksploitasi di dalam sistem kelas sebagai akibat dari kapitalisme. Marx menyatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan, yaitu kelompok masyarakat ‘kaya’ dan ‘miskin’ berada dalam suatu kondisi ketegangan yang konstan yang kemungkinan dapat menimbulkan pertentangan. Kelompok ‘kaya’ mengendalikan kekuasaan, kekayaan, barang-barang materi, privilese (termasuk akses terhadap pendidikan yang terbaik), serta pengaruh; sedangkan kelompok kaum ‘miskin’ menyajikan suatu tantangan yang bersifat konstan karena mereka terus berusaha mendapatkan suatu bagian yang lebih besar dari kemakmuran masyarakat. Pertentangan untuk merebut kekuasaan tersebut membantu menentukan struktur dan berfungsinya organisasi dan hirarkhi yang muncul sebagai akibat dari hubungan kekuasaan.

3.    Teori Marxian
            Teori Marx merupakan suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial. Teori ini menekankan pada saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil, dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Penekanan Marx pada penyesuaikan diri dengan lingkungan materil serta sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya. Menurut Marx, hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Struktur internal ekonomi itu terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan untuk memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi (Giddens, 1986).
            Meskipun pendekatan teoritis Marx secara keseluruhan dapat diterapkan pada tahap sejarah apapun, namun perhatian utamanya adalah pada tahap masyarakat kapitalis. Pandangan Marx mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatannya merupakan suatu elemen penting dalam pendekatan masa kini. Penekanan Marx pada bagaimana ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang sosiologi pengetahuan pada masa kini. Untuk itu, ideologi-ideologi dikembangkan dan digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan pelbagai kelompok dalam masyarakat.
            Secara garis besarnya, Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam, dengan bekerja seperti itu maka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan perumahan, dan kebutuhan lainnya yang memungkinkan mereka hidup.
            Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka milik, dan dorongan ini diwujudkan bersama sama dengan orang lain, dengan kata lain bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahluk sosial, mereka perlu bekerja sama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.
            Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi. Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.
            Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.

E.  Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1.    Teori Fenomenologi
              Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”.
              Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradikma definisi sosial biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenoligi dengan paradigm definisi sosial ini akan member peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi terhadap intepretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger menyebutnya dengan first order understanding and second order understanding.
              Pendekatan fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68).

2.    Teori Interaksi Simbolis
              Istilah interaktionisme simbolis diciptakan oleh Herbert Blumer, figur yang
terkemuka dalam mempromosikan modelnya sejak 1930-an (Spencer dan Inkeles, 1982: 16). Tokoh lainnya adalah George Herbert Mead, yang mengatakanbahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain, dengan perantaraan lambang-lambang tertentu yang dipunyai bersama. Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang-lambang tersebut.
              Manusia juga membentuk perspektif-perspektif tertentu, melalui suatu proses sosial di mana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya. Selanjutnya mereka berperilaku menurut hal-hal yang diartikan secara sosial. Mead menyatakan bahwa lambang-lambang, terutama bahasa, tidak hanya merupakan sarana untuk mengadakan komunikasi antar pribadi, tetapi juga untuk komunikasi dengan dirinya sendiri khususnya untuk berpikir (1934: 136). Manusia mungkin saja berbicara dengan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dengan cara demikian seseorang dapat menyesuaikan perilakukna dengan pihak lain.
              Beberapa tokoh lainnya yang ternama adalah Herbert Blumer, Ralph H. Turner, Howard S. Becker, dan Norman K. Denzin. Sedangkan tokoh interaksinisme simbolik yang sekarang makin dikenal di kalangan sosiolog adalah Erving Goffman (Spencer dan Inkeles, 1982: 17; Soekanto, 1982: 8).
              Interaksi simbolik dalam sosiologi pendidikan juga menunjang dan mewarnai aktifitass akademik riset kualitatif. Bagian penting dalam interaksi simbolik adalah konstruksi antara diri pribadi (self). Dalam membentuk atau mendefinisikan diri, orang berusaha melihat dirinya sebagaimana orang-orang lain melihat dirinya dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan yang ditunjukkan kepadanya dan dengan jalan menampatkan dirinya pada peranan orang lain. Menurut Noeng Muhadjirin dalan Tjipto (2009: 81) konsep interaksi simbolik bertolak pada tujuh posisi dasar, yaitu:
1)    Bahwa perilaku manusia itu mempunyai .makna dibalik yang menggejala, sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan perilaku yang terelubung
2)    Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya, manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan mencintai Tuhan
3)    Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga.
4)    Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan di tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku manusia bertujuan dan tidak terduga.
5)    Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, mengakui adanya tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan materialistic
6)    Perilaku manusia itu wajar, dan konstruktif kreatif, bukan elementer reaktif
7)    Perlu di gunakan metoda instrospeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 82).
              Dari perspektif simbolik, semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau prspektif lewat proses interpretasi dan mereka bertindak dalam makna definisi tersebut.

3.    Teori Etnografi
            Menurut Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah onsep tentang kebudayaan (the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghassilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
            Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkahlaku” (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa yang dilakukan orang, dan barang-barang yang dibuat dan dipergunakan. Untuk mendiskripsikan budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti meungkin berfikif tentang perristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan tingkahlaku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya).
Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang relative lama.
2) Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya.
3)    Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota masyarakat lainnya.
4)    Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
5)    Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data.
            Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian.









F.       Penutup
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi  masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya. Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.
Perubahan sosial berimplikasi pada perubahan pendidikan. Pemahaman terhadap perubahan sosial ini menuntut adanya stakehoder di bidang pendidikan untuk melakukan perubahan menuju kemajuan. Tanpa upaya serius, pendidikan akan tertinggal oleh perubahan tersebut. Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya menelaah berbagai macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah konsep-konsep umum. Sehingga sosiologi dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan, untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.
Menurut Ballantine Bidang cakupan sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok sebagai berikut: a) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat; b) Hubungan antar manusia di dalam sekolah; c) Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah/ lembaga pendidikan; dan d) Lembaga pendidikan dalam masyarakat.






Daftar Pustaka

Ary H. Gunawan, 2000, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

_____________. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis tentang Pelbagai Problem Pendididikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ballantine, Jeanne H., 2001. The Sociology of Education: A Systematic Approach. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Garfinkel, Harold,1967, Studies in Ethnomethodology, Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall.

Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Cairo: Musthafa Muhammad, tt), Jil. II,

Karsidi, Ravik. 2007. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press.

Katamto Sunarto, 1993, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

Laeyendecker, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia,

Mead, George Herbert, 1934, Mind, Self, and Society, Kata Pengantar dan editor oleh Charls W. Morris, Chicago: University of Chicago Press

Robert N. Beck, 1979, Handbook in Social Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co., Inc

Sanapiah Faisal dan Nur Yasik. 1987. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Soekadijo, 1989, Tendensi dan tradisi dalam sosiologi pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia.

Spencer, Metta dan Inkeles Alex, 1982, Foundations of Modern Sociology, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Subadi Tjipto, 2009, Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan, Penerbit: Fairuz Media Duta Pertama Ilmu.

Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden (penyunting), 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zeitlin, Irving, M., 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Penerjemah: Anshori dan Juhanda, Yogyakarta: Gajam Mada University Press.

17 komentar:

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!