Sabtu, 07 Agustus 2010

POSMODERNISME, PEDAGOGI, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN

oleh:
Dr. Warsiman, M.Pd.1


A. Sejarah Perkembangan Posmodernisme
Posmodernisme mula-mula muncul karena adanya keinginan untuk berpaling dari paham modernisme yang dianggap berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Subangun (1994:154) bahwa, Lyotard dan Foucault, tokoh aliran ini, menolak keteraturan yang didituntut oleh modernisme. Lebih-lebih Lyotard, ia mengatakan bahwa konsesus dalam apapun dan terutama dalam pengetahuan, bukan dan tidak akan menjadi akhir untuk dirinya sendiri. Demikian pula objektivitas tidak merupakan tujuan akhir, sebab dalam tingkat perkembangan ilmu seperti sekarang ini bukan lagi mengejar objektivitas atau kosensus rasional, melainkan mengejar hal-hal yang jauh lebih penting yakni; hal-hal yang tidak bisa diduga dan diambil keputusan (Subangun, 1994:156).

Pemikiran posmodernisme sendiri sebenarnya telah diawali oleh teori dialogis Bakhtin yang disusun pada tahun 1920-an. Teori tersebut telah menunjukkan kecenderungan ke arah posmodernisme. Namun, secara faktual baru pada tahun 1950-an posmodernisme muncul sebagai sebuah aliran. Selanjutnya, aliran ini baru dikenal di kalangan luas pada tahun 1970-an.
Istilah posmodernisme mula-mula dikenalkan oleh Lyotard secara eksplisit lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya tersebut Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Sebaliknya, ia menawarkan ide parologi atau pluralitas. Manusia harus membuka kesadaranya dan menerima realitas plural. Menurutnya tiap pengetahuan bergerak dalam language game masing-masing, dan kebenaran selalu terkait pada penilaian orang melalui bahasa yang digunakan (Arifin, 1994:34). Jadi, kebenaran adalah selalu interpretatif, dan karena interpretatif maka sulit untuk dipastikan.
Aliran modernisme dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative (cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya (Arifin, 1994:34). Yang menjadi kegelisahan Lyotard bahwa, aliran ini mengklaim diri sebagai aliran yang mampu mencapai kebenaran dan keadilan. Lyotard menolak dengan keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran.
Aliran posmodernisme berkembang pesat pada tahun 1970-an dengan beberapa tokoh yang dikenal gigih menolak aliran modernisme dan menawarkan solusi terbaik dalam upaya untuk mengikuti perkembangan zaman yang serba menuntut tersebut. Tokoh-tokoh itu ialah: Jeans Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai gembong aliran posmodernisme.

B. Pedagogi (Pendidikan)
1. Makna Pendidikan
Pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan (Langeveld, dalam Sadulloh, 2003:54; Pidarta, 1997:10), sedangkan pendidikan secara luas menurut Hoogeveld dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan kepada anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri (Sadulloh, 2003:54). Sementara itu, Brojonegoro memberi makna pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani (Sadulloh, 2003:54). Selanjutnya, menurut tokoh pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Pidarta, 1997:10).
Berpijak dari pendidikan dalam arti khusus, maka setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya pendidikan yang dimaknai khusus tersebut tercermin dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Orang tua yang terdiri dari Ayah dan Ibu menjadi figur sentral dalam pendidikan keluarga. Mereka bertanggung jawab untuk memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa, atau menjadi manusia sempurna, maka bantuan pendidikan yang diberikan oleh Ayah dan Ibu tersebut dianggap telah selesai.
Ditilik dari uraian tersebut, maka munculnya sekolah tak lain karena orang tua menganggap dirinya tidak sanggup dengan sepenuh waktu mendampingi anak-anaknya belajar mencapai kedewasaan. Bahkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan seorang ibu demi sebuah kariernya, menitipkan anak-anaknya di tempat-tempat penitipan anak. Tampaknya mereka tidak menyadari bahwa dampak psikologi anak akan mempengaruhi perkembangan di masa mendatang.
Pendidikan dalam arti luas menurut Henderson (Sadulloh, 2003:55) merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil intraksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
Di Indonesia secara umum pendidikan dalam arti luas telah tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 bahwa, ”Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. Demikian pula dalam amanat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perananya di masa yang akan datang. Kedua hal tersebut kini menjadi landasan sistem pendidikan di negara kita.
2. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi
Pada hakekatnya pendidikan adalah mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional bahwa, pendidikan mencakup kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasformasikan segala nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi, budaya, sains dan teknologi, seni dan nilai ketrampilan. Tujuan dari pentransformasian nilai tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan, mengembangkan. Bahkan, (kalau perlu) mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat (Sadulloh, 2003:57).
Untuk mencapai proses transformasi yang efektif diperlukan syarat- syarat tertentu. Adapun syarat-syarat yang dimaksud menurut Sadulloh (2003:58) ialah: (1) harus ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dengan terdidik. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara siswa dengan guru berdasarkan atas kewibawaan; (2) harus ada metode pendidikan yang sesuai. Maksudnya ada kesesuaian metode dengan kemampuan pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi lingkungan tempat pendidikan berlangsung; (3) harus ada sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya ada kesesuaian antara nilai yang akan ditransformasikan dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan serta sarana tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada peserta didik; dan (4) harus ada suasana yang memadai. Suasana yang memadai dan menyenangkan sangat menunjang terjadinya proses transformasi nilai agar berjalan dengan baik.
3. Tujuan Pendidikan
Berbicara tentang tujuan pendidikan maka terkait erat dengan sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan. Menurut Hummel (1977:39, dalam Sadulloh, 2003:58) untuk menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai itu ialah: (1) autonomi, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik; (2) equity (keadilan), berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama; (3) survival, berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana yang tersebut dalam uraian sebelumnya bahwa pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan, atau pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan. Secara umum yang disebut dengan manusia dewasa ialah: manusia yang dianggap telah mandiri, bertanggung jawab, telah mampu memahami norma-norma serta moral dalam kehidupan dan sekaligus berkesanggupan untuk melaksanakan norma dan moral tersebut (cf. Sadulloh, 2003:59).
Pendidikan di Indonesia berkibkat pada ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan secara umum ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan perilakuknya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
4. Pendidikan Berlangsung Sepanjang Hayat
Hakekatnya manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena tumbuh dan berkembang, maka manusia tidak pernah stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu dinamis. Dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik ia selalu bereksplorasi dengan alam dan sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus belajar, selama itulah pendidikan terus berjalan.
Sekarang orang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya dilakukan di bangku sekolah, tetapi dapat dilakukan di mana saja. Di sekolah, di luar sekolah (di rumah, di masyarakat), dan sebagainya. Selain itu, kegiatan belajar juga tidak hanya berlangsung pada masa anak-anak, tetapi merupakan kegiatan yang terus menerus sampai meraka mati. Pendidikan yang demikian itu di sebut pendidikan seumur hidup (long life education). Jadi, pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang berlangsung sejak manusia lahir sampai ia mati (Natawidjaya, 1979:105).
Konsep pendidikan sepanjang hayat, menurut Sadulloh (2003:63) adalah semua kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Maksudnya seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Selain itu, model pendidikan yang diterapkan bersifat adaptif. Maksudnya pendidikan yang dilakukan selalu mengikuti perkembangan lingkungan dan disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang telah maju tentu akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju.
C. Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Filsafat Pendidikan
Menurut Pidarta (1997:84) yang disebut filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Berbicara tentang filsafat pendidikan, hampir semua negara di dunia ini dihadapkan pada tiga pertanyaan besar. Ketiga pertanyaan itu ialah: (1) apakah pendidikan itu? (2) apa yang hendak dicapai? (3) bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan itu? (Sutisna, 1990, dalam Pidarta, 1997:84). Jika ingin diuraikan secara detail masing-masing pertanyaan itu akan memberikan beberapa rincian lagi. Namun, yang perlu dijelaskan di sini tampaknya hal-hal yang berkaitan dengan maksud dari filsafat pendidikan itu sendiri kaitanya dengan para pelaksana (praktisi) pendidikan di lapangan.
Menurut Sutan Zanti Arbi (1988, dalam Pidarta, 1997:86) setidaknya ada empat maksud filsafat pendidikan dalam perannya terhadap pendidikan. Keempat maksud itu ialah, menginspirasikan, menganalisis, mempreskriptifkan, dan menginvestigasi. Meginspirasikan dalam uraian tersebut berarti bahwa filsafat pendidikan memberi inspirasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filsof menjelaskan idenya bagaimana pendidikan itu, ke mana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta apa peran pendidik. Menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancuan (tumpang tindih).
Mempreskriptifkan dalam filsafat pendidikan adalah upaya menjelaskan atau memberi pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakekat manusia bila dibandingkan dengan makhkuk lain, atau aspek-aspek peserta didik yang memungkinkan untuk dikembangkan, proses perkembangan itu sendiri, batas bantuan yang diberikan, batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan, target pendidikan, perbedaan arah pendidikan, dan bakat serta minat anak.
Menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meniliti kebenaran suatu teori pendidikan. Maksudnya pendidik tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatu konsep atau teori pendidikan untuk dipraktekkan di lapangan, tetapi hendaknya konsep yang dipraktekkan tersebut hasil dari penelitian yang dilakukan, sedangkan posisi filsafat hanya sebagai latar pengetahuan saja. Selanjutnya, setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat digunakan untuk mengevaluasi atau sebagai pembanding, berikutnya sebagai bahan revisi agar konsep pendidikan itu menjadi lebih baik dan mantap.
Filsafat pendidikan selalu bereksplorasi menemukan sebuah format pendidikan yang ideal untuk diterapkan di suatu negara. Format pendidikan yang dimaksud harus sejalan dengan keadaan masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan.
2. Peranan Filsafat Pendidikan
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa filsafat pendidikan selalu mencari format pendidikan yang ideal dan tepat dengan kondisi di mana pendidikan itu dilaksanakan. Filsafat pendidikan menjadi landasan dari sistem pendidikan suatu negara. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tanpa memiliki filsafat dalam menentukan arah pendidikan yang akan dicapai. Tanpa filsafat pendidikan maka dapat dipastikan suatu negara tersebut kesulitan menentukan capaian yang diharapkan dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan.
Setiap negara memiliki filsafat pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan corak kehidupan negara tersebut. Corak kehidupan yang dimaksud adalah corak kehidupan yang tercermin dalam perilaku masyarakatnya. Negara mempunyai kewenangan menentukan landasan filsafat pendidikan sebagai arah kebijakan yang akan dicapai dalam tujuan pendidikan yang diselenggarakan. Tidak ada satu negara pun memiliki filsafat pendidikan yang sama persis, kecuali negara tersebut memiliki sejarah peradaban yang sama. Sekalipun demikian arah dan tujuan pendidikan yang akan dicapai tetap berbeda.
Di Indonesia filsafat pendidikan dirumuskan berdasarkan corak dan budaya kehidupan bangsa Indonesia. Filsafat pendidikan di Indonesia didasarkan pada ideologi negara dan konstitusi negara. Oleh karena itu, filsafat pendidikan di Indonesia disebut Filsafat Pendidikan Pancasila. Segala kebijaksanaan pendidikan harus mencerminkan nilai-nilai pancasila. Hasil akhir dari pendidikan pun harus mampu mencerminkan perilaku yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila.
Berdasarkan perbedaan filsafat pendidikan yang dianut, maka setiap negara tidak patut mengadopsi sistem pendidikan negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat negara tersebut. Kesuksesan negara tertentu terhadap sistem pendidikan yang diterapkan, tidak mesti cocok untuk diterapkan di negara lain. Oleh karena itu, suatu negara harus bertidak bijaksana dalam menetapkan segala keputusan berkaitan dengan sistem pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta: Aditya Media.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Natawidjaya, Rochman. 1979. Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Kurnia Esa Jakarta.
Pidarta, Made. 1994. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Antara Islam Modernisme dan Posmodernisme: Telah Kritis atas Pemikiran hasssan Hanafi. Yogyakarta: LKIS
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: kanisius.
Subangun, Immanuel. 1994. Dari Saminisme ke Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

1 Dosen tetap Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP PGRI Bojonegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!