Sabtu, 07 Agustus 2010

ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME (Sebuah Gagasan Ideal Sistem Pendidikan di Indonesia)

Oleh: Dr. Warsiman, M.Pd.1


A. Pendahuluan
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia
.
Jika ditelusuri dari akar kata, pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” yang berarti praktek atau aku berbuat. Maksud dari perkataan itu adalah, makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Diulas dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff, 1992:130) bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan untuk mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada makna praktis dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika tidak menimbulkan konskuensi yang praktis maka tidak ada makna yang dikandungnya. Karena itu, munculah sebuah semboyan bahwa, “Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130). Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu juga tidak ada, yang ada adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat ini1. Inti dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan kebenaran yang bersifat fungsional, berguna atau praktis. Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
B. Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme.
1. Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh, 2003:125).
Jadi, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya. Tak kurang dari John Dewey, seorang aliran pragmatisme yang mengorientasikan landasan metodologi dan kesimpulannya pada ilmu-ilmu sosial dan biologi (Sadulloh, 2003:125) mengurai pentingnya pendidikan atas tiga pokok pemikiran, yaitu: a) pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Maksud dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat, pendidikan juga sebagai pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki dan keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berintraksi antara individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau selalu tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b) pendidikan sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c) pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti dari pernyataan tersebut adalah, pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana meneruskan dan menyelamatkan cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial, keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut Dewey (1964: 22, dalam Sadulloh, 2003:127) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga fungsi. Ketiga fungsi itu ialah: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah (pendidik) hendaknya menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya menjadi agen pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta menjadi alat pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap menghadapi perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta lingkungan itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya memiliki tanggung-jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.
2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai. Yang tidak kalah penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Model pembelajaran pragmatisme adalah; anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu: a) tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; b) kedudukan siswa. Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh; c) kurikulum. Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan; d) metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja); dan e) peran guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.

3. Penutup
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis, dan manusia adalah ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil pikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia.
Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap suatu nilai yang tidak empiris. Konsep pendidikan pragmatisme adalah, pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak menjadi manusia yang mandiri, bertanggung-jawab, dan dapat memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Pendidikan harus dilangsungkan di tempat dimana anak berada. Kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman di luar sekolah. Masalah yang diangkat oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.






DAFTAR PUSTAKA
Drost, J.I.G.M. 1997. Sekolah: Mengajar atau Mendidik: Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Jalaluddin dan Abdulloh Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama.
Ismaun. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Kattsof, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogyakarta.
Power, Edward J. 1982. Philosophy of Education. New Jersey: Prentice-Hall. Inc.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

1 komentar:

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!