Pendidikan sudah sepatutnya
menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang
dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus
diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas, dan
tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem
pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian untuk
menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah
seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap
perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab
tantangan
zaman.
zaman.
Di Indonesia, berubahnya subsistem
pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun
malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki
visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi pendidikan diharapkan mampu
menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas
pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta
metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu
menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa.
Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan:[1]
- Perolehan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi)
atau kemampuan menjawab permintaan pasar.
- Orientasi humanistik
- Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta
masalah keadilan.
- Kemajuan ilmu itu sendiri.
Dari keempat tujuan pendidikan di
atas, setidaknya poin nomor dua yang berorientasi pada tujuan memanusiakan
manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting dalam proses pendidikan, dan
sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung hak-hak peserta didik dalam
memperoleh informasi pengetahuan.
- 1. Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan modern di Indonesia
dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri politik “tanam paksa”
menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri
Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha
dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja
sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga
didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri
jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan
oleh penjajah belanda kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis
Indonesia.[2]
Sejarah pendidikan di Indonesia
modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban
Pasoendan” di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan
menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia
membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan
Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari
untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan
pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1
dan kursus B-2.[3]
Masa prakemerdekaan begitu banyak
persoalan yang menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu
masih dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi
kepada penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para
penguasa pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan
dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di
zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk
lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar
guna membaca dan mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian
membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa
ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa
yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Konsep ideal pendidikan kolonialis
adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang
dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia
sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan
kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk
mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat
ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak
dari pemerintahan kolonial.[4] Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi
pengikut negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta
dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
- 2. Pendidikan Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa
kemerdekaan, pendidikan di masa pascakolonial melahirkan beberapa hal
diantaranya:[5]
- Terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu.
Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak
sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru
ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir kritis. Pada saat
ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode ceramah
ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus
dihormati oleh murid.
- Penduduk dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh)
ternyata belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam
proses pendidikan.
- Model sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum
hilang bekas-bekas pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
- Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli)
didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan
artifisial penguasa di bidang politik.
- Kaum elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan
dari luar negeri ternyata tidak akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar
pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati
sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar
keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama
sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan
Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang
berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk
dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang.
Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa
pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas
sosial.[6] Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru
ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri
dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang
merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap
sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun
masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan
kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan.
Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak
pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul
dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan politik
sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara maupun kaum
dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata:
“…sungguh alangkah hebatnya kalau
tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul
Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat
‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”[7]
Dari perkataan Soekarno itu
sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang
sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki
Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan
asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan
yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso
sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pada 1950
diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang
kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961
tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis
Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan
Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa
Indonesia berpendidikan SD.[8]
- a. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde
Lama
Jika kita berbicara tentang
kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di
antaranya:
1) Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada
masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan”
artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis,
dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas
pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal
dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun
1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan
pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih
diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan
sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik
lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani.
Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela
negara.
2) Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap
mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata
pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada
masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih
diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam
kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek
sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja
yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan
standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
3) Kurikulum 1964
Fokus kurikulum 1964 adalah pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana).
Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada
kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam
pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi
positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.
- 3. Pendidikan Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam
bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu
loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres)
Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini
hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan
kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa
orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru
mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang
pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas
peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi
militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status
quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan
pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.[9]
Pada pendidikan orde baru kesetaran
dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif
masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta
didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa
memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum
yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.[10] Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada
masa ini adalah:
- Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi
pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang
hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
- Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan
sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik
- Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin
Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia”. Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian
Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan
di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan
hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
dan Kebudayaan (BP3K).[11] pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang
menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming) pancasila dan UUD 1945
dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4.
Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah
“pengangguran terdidik”[12]. Depdiknas di bawah Menteri Wardiman
Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link
and match”[13] sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan
Indonesia pada masa itu.[14]
- a. Posisi Siswa Sebagai Subjek dalam Era Orde Baru
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa
pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat
penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik,
dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan berperan sebagai
alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan
ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi
intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
1) Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat
politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila
sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran:
kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan
materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan
faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan
sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa
ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak
ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan
pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada
tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management
by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah
“satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap
satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU),
tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru
menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan
yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus
detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap
muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua
proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
3) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process
skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan.
Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai
fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum
ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar
mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan
sesuatu.
4) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya
untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan
1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan
beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal.
Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya
bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan,
dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya
beban belajar yang harus mereka hadapi.
- 4. Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang
yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang
bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis
kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik
(orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat
UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”[15]
Dengan didasarkan oleh UU No. 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun
1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring
pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan.
Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999
mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan
ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah
memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem
“Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah
membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU
No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”[16]
Mendiknas kabinet bersatu Bambang
Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil
melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah,
dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar
bisa sejajar dengan profesi terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak,
pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena,
pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan
siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan
yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam
pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi
siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan
Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
- a. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada pelaksanaan kurikulum ini,
posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan
terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru
dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan
sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi
juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak
diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif
dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama
KBK, yaitu:[17]
1)
Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2)
Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa
(normal, sedang, dan tinggi).
3)
Berpusat pada siswa.
4)
Orientasi pada proses dan hasil.
5)
Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6)
Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7)
Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8)
Belajar sepanjang hayat;
9)
Belajar mengetahui (learning how to know),
10) Belajar melakukan (learning
how to do),
11) Belajar menjadi diri
sendiri (learning how to be),
12) Belajar hidup dalam
keberagaman (learning how to live together).
Pengembangan KBK mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.[18]
1)
Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan
bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi
sesuai dengan potensinya masing-masing.
2)
Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan
kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam
suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal
berdasarkan standar kompetensi tertentu.
3)
Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya
lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan
keterampilan.
- b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda
dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya,
yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat
menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal
ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan
penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Jadi pada kurikulum ini sekolah
sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan
sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih
mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK,
maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara
terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh
masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur
pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan
praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada
unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan
dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan
kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu
memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat
sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan,
mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang
berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah,
sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang
telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
[1] Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan
Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan,
(Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
[2] Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia:
Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16.
[3] Ibid, 2008, hlm. 16.
[4] Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan
Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1997), hlm 49-50.
[5] Ibid, 1997, hlm 53-58.
[6] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia.
(Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87.
[7] Ibid, 2009, hlm. 92.
[8] Ibid.
[9] Sejak T,B Silalahi menjadi Menteri Penertiban
Aparatur Negara (PAN), latihan prajabatan calon-calon guru pegawai negeri sipil
(PNS) tidak di bawah penanganan pakar akademisi, peneliti, atau pekerja sosial,
yang dekat dengan profesi guru, melainkan di bawah instruksi militer. Dengan
sendirinya wacana yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu pengetahuan dan
pendalaman filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi aktivitas fisik,
dengan asumsi bahwa seorang guru perlu memiliki stamina (fisik) yang kuat untuk
menjalankan tuigasnya.
[10] Ibid, 2009, hlm.99.
[11] Ibid.
[12] Pengangguran terdidik adalah orang yang
belum atau tidak bekerja, namun memiliki latar belakang pendidikan yang cukup
memadai, hal ini disebabkan oleh belum adanya lapangan kerja yang dapat
menampung mereka. Pada Rakernas Depdiknas 1983, presiden Soeharto sempat
memberikan pernyataan “jangan sampai kita menghasilkan tenaga terdidik melebihi
tenaga yang diperlukan.
[13] “Link and match” merupakan upaya pemerintah
pada waktu itu untuk mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk
menyesuaikan antara jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan
dalam UU yang dibuat pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
berisi “pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik…bagi
peranannya di masa yang akan datang”.
[14] Ibid, 2008, hlm.20.
[15] UUD 1945 amandemen keempat, pasal 31
ayat 4.
[16] Standar Nasional Pendidikan,
(Jakarta: Cemerlang, 2005), hlm. 102.
[17] “Kurikulum di Indonesia”, (meilanikasim.wordpress.com,
diakses 25 Februari 2009, pukul. 05.45 WIB).
[18] Ibid, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!