- Oleh Mahmudi Asyari
SUATU ketika sewaktu berkumpul dengan beberapa kawan, perbincangan yang semula canda tiba-tiba menjadi serius. Pasalnya seorang teman tiba-tiba berbicara soal shalat tarawih. Persoalan yang diperbincangkan menyangkut shalat tarawih, baik dilihat dari segi landasan dogmatisnya maupun menyangkut cara dan bilangannya yang senantiasa kontroversial.
Ketika pembicaraan sudah mengarah pemberian label bid’ah, saya waktu itu menimpali singkat. Saya katakan, ‘’Tidak shalat juga tidak apa-apa. Mau dua rakaat juga boleh’’. Mendengar ucapan dua rakaat, seorang kawan tiba-tiba mengatakan, ‘’Apakah Nabi pernah tarawih dua rakaat?î Saya bilang, ‘’Tidak tahu’’. Teman tadi lantas melabeli dengan pendapat ngawur. Mendengar itu, saya balik bertanya, ‘’Apa ada bukti Nabi melakukan salat tarawih?’’
Salah seorang kawan yang begitu ‘’fanatik’’ dengan tata cara tarawih empat rakat sebanyak dua kali ditambah tiga rakaat witir, dengan nada agak emosional membacakan sebuah hadis yang sudah sangat masyhur, yaitu Hadis Aisyah yang selama ini dianggap sebagai dalil pamungkas bagi penganutnya.
Mendengar Hadis itu, saya katakan tidak ada keraguan kesahihannya hanya saya meminta agar artinya —bukannya saya tidak mengerti— dibaca atau dijelaskan. Lantas ia menjelaskan bahwa menurut Aisyah, Beliau (Nabi) tidak pernah menjalankan shalat malam melebihi 11 rakaat seperti saya sebutkan. Setelah penjelasan itu saya kemudian mengatakan, ‘’Berarti kita harus bertarawih sepanjang tahun’’.
Kawan tadi bingung dan balik bertanya, ‘’Apa maksudnya?’’
Saya katakan bahwa Anda tidak paham Hadis itu karena hanya tertuju pada aspek tarawih 11 rakaat. Seharusnya, menurut saya, dijelaskan juga bahwa Hadis itu menegaskan pada Ramadan dan di luar Ramadan Beliau hanya salat malam 11 rakaat.
Memang terkait masalah tarawih, sejumlah pertanyaan masih harus dicarikan jawabannya mengingat tidak ada riwayat pasti yang menunjukkan bahwa Nabi tarawih. Bahkan, kalangan Syi’ah secara tegas menolak bahwa Hadis itu ajaran Nabi. Meskipun sebenarnya lebih bernuansa politis lantaran tidak mengakui sahabat selain Ali, mereka berkeyakinan shalat itu hanyalah kreasi Umar bin Khattab.
Selain Hadis Aisyah dan lainnya yang sering diperbincangkan, hadis terkait dengan qiyam Ramadan selalu tidak ketinggalan. Bahkan sebelum menuju kepada dalil-dalil lain yang saling bertentangan itu, hadis qiyam Ramadan adalah dalil ‘’induk’’ karena semua perbincangan mengalir dari dalil itu sehingga dalil- lain dianggap penguat saja.
Terlepas dari kedudukan hadis qiyam sebagai ‘’induk’’, menurut saya, persoalan dimulai dari hadis itu. Sebab, meskipun Beliau menegaskan agar setiap muslim melakukan qiyam Ramadhan, apa dan bagaimana persisnya tidak jelas atau paling tidak masih dalam ranah kontroversi mengingat banyak riwayat saling bertentangan.
Menggapai Rida Menurut saya, terma qiyam Ramadan yang diungkapkan Nabi tidak lain adalah semua shalat sunah yang dilakukan pada malam Ramadan dalam rangka menyemarakkan malam bulan itu sebagai bentuk antusiasme umat dalam rangka menggapai rida dan ampunan Allah. Jadi, segala jenis salat sunah apapun termasuk yang nafilah bila dilakukan pada malam Ramadan, intensitasnya ditingkatkan atau tidak, masuk dalam terma qiyam Ramadan itu.
Secara bahasa tarawih merupakan bentuk plural dari bentuk tunggalnya tarwihah yang berarti santai dan istirahat. Istilah tersebut mengemuka ketika dilihat praktik pada masa sahabat dan sesudahnya, lantaran setiap mengucap salam orang-orang yang melakukan shalat duduk santai dan istirahat sejenak.
Di Indonesia bentuk itu salah satunya dengan mendengarkan bacaan yang diperdengarkan bilal. Karena adanya intensitas istirahat yang lumayan tinggi itulah kemudian shalat yang tiap sesudah salam diselingi dengan istirahat disebut dengan tarawih. Namun, apakah tidak menjadi persoalan jika momentum santai itu kemudian diformulasikan menjadi nama shalat dan ketika akan melakukan pun berniat dengan shalat istirahat (tarawih)?
Masa ada nama shalat istirahat? Jika nama itu akan ditelusuri melalui hadis saya yakin tidak ada karena meskipun Beliau menganjurkan qiyam Ramadan bukan berarti shalat dengan nama istirahat itu yang dianjurkan melainkan mengurangi tidur pada malam hari dengan melakukan shalat sunah baik yang sudah ada namanya seperti tahajud maupun nawafil atau salat sunah bebas. (10)
— Mahmudi Asyari, doktor dari UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!