Minggu, 15 Agustus 2010

Tarawih sama dengan Ramadan Qiyam?

  • Oleh Ahmad Rofiq
MEMBACA artikel Saudara Mahmudi Asyari berjudul ‘’Tarawih atau Qiyam Ramadan?’’ (SM, 11/08/10), saya merasa terusik urun rembuk menulis, dan memberanikan diri membuat judul tersebut (Tarawih sama dengan Qiyam Ramadan?).

Tulisan tersebut tidak ada yang salah karena lebih ingin meluruskan agar tidak ada fanatisme berlebihan dalam menjalankan shalat tarawih, apalagi memberi label bid’ah kepada orang lain yang mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat pada awal masa Umar ibn al-Khathab, atau 36 rakaat seperti pada masa ‘Umar ibn Abdul Aziz.

Kutipan redaktur atas tulisan Mahmudi,’’ Terma qiyam Ramadan yang diungkapkan Nabi tidak lain adalah semua shalat sunah pada malam Ramadan untuk menyemarakkan malam pada bulan itu’’ adalah untuk memberikan ‘’kenyamanan’’ pembaca agar tidak perlu ragu mengerjakan shalat tarawih, baik yang 8 maupun 20 rakaat.

Judul yang disampaikan Mahmudi Asyari, sama dengan subbahasan dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karya Doktor Wahbah al-Zuhaily. Pada buku juz III yang membahas tentang Kesempurnaan Shalat, halaman 1.088 dalam topik ‘’shalat-shalat tertentu yang berdiri sendiri’’, disebutkan ‘’Shalat Tarawih atau Qiyam Syahr Ramadhan’’.

Yang menarik, praktik shalat tarawih di kebanyakan negara muslim, termasuk yang tidak bermazhab Syafi’i adalah 20 rakaat. Di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah, yang bermazhab Hanbali (Wahabi) tarawih dilaksanakan 20 rakaat, dengan bacaan surat 1 juz tiap malam. Dan inilah yang ditiru dan dipraktikkan oleh Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Agung Semarang, dan Masjid Raya Baiturrahman Semarang.

Meskipun yang terakhir, dimodifikasi dengan tarawih dilaksanakan hingga 8 rakaat, jeda untuk kuliah tujuh menit (kultum), setelah itu diteruskan hingga 20 rakaat. Yang biasa 8 rakaat, dipersilahkan menutup dengan witir sendiri-sendiri atau menunggu imam.

Wahbah al-Zuhaily (III:1088) menegaskan bahwa shalat tarawih atau qiyam Ramadan adalah 20 rakaat, hukumnya sunnah muakkad, yang kali pertama mengerjakan adalah Rasulullah saw.

Dasar jumlah rakaat tarawih yang 20 ini, adalah riwayat Abu Bakr ‘Abd al-’Aziz dalam Kitab al-Syafi, dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan,’’Sesungguhnya Nabi saw mengerjakan shalat di bulan Ramadan 20 rakaatî (Az-Zuhaily, III:1089). Ibn Abbas termasuk sahabat kecil. Malik dari Yazid ibn Ruman mengatakan,’’Orang-orang melakukan qiyam Ramadan di masa Umar 23 rakaat’’. Rahasia di dalamnya adalah karena shalat rawatib 10 dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadan.
Nabi Khawatir Demikian juga riwayat Ali ibn Abi Thalib mengatakan, bahwa Umar memerintah seseorang untuk shalat bersama mereka di bulan Ramadan 20 rakaat. Demikian juga yang disampaikan Ubay ibn Ka’ab bahwa dirinya mengerjakan bersama para sahabat lainnya 20 rakaat dalam qiyam Ramadan dan shalat witir 3 rakaat.

Rasulullah saw sendiri mengerjakan qiyam Ramadan secara berjamaah dengan masyarakat hanya 3 kali. Ada yang menyebut tanggal 23, 25, dan 27 Ramadhan (Rasyid, 1989:148). Namun dalam riwayat Siti Aisyah ra,’’Nabi saw shalat di masjid pada suatu malam, diikuti banyak orang, kemudian juga pada malam berikutnya, banyak manusia, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga dan keempat, maka Rasulullah saw tidak keluar bersama mereka, dan keesokan paginya Beliau bersabda,

’’Sungguh aku telah melihat apa yang kalian kerjakan, sebenarnya tidak ada halangan bagi saya untuk keluar bersama kalian, kecuali sungguh saya khawatir apabila shalat ini diwajibkan (dianggap wajib) atas kalian. Dan ini dalam bulan Ramadan’’. (Riwayat Musim).

Wahbah al-Zuhaily (III:1089) berkesimpulan, bahwa bilangan rakaat tarawih ada tiga pendapat. Pertama, pendapat mayoritas ulama adalah 20 rakaat, dan ini merupakan sunah dan dipraktikkan oleh orang-orang Muhajirin (yang hijrah dari Makkah ke Madinah) dan Anshar (orang-orang Madinah yang menolong Nabi dan para sahabat ketika kali pertama datang di Madinah).

Kedua, yang 36 rakaat, ini pada zaman Umar ibn Abdul Aziz dan praktik warga Madinah terdahulu (Dardir, Syarh al-Kabir, 1/315). Ketiga, menurut sebagian golongan, adalah 8 rakat, seperti riwayat Aisyah, ‘’bahwa Nabi saw tidak menambah rakaat shalat di bulan Ramadan dan lainnya dari 13 rakaat’’. Dalam riwayat yang lain ‘’11 rakaat’’.

Pada akhirnya pilihan jumlah rakaat, terpulang pada pilihan masing-masing. Umar ibn al-Khathab menyadari bahwa tarawih yang 20 rakaat adalah bid’ah yang terbaik. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw pernah tarawih 20 rakaat. Bahwa ada yang memilih 8 rakaat, juga baik. Yang penting, bagaimana ikhtiar masing-masing untuk melaksanakan qiyam Ramadan agar tujuan penyucian jiwa dan hati dapat dicapai, karena yang utama adalah maghfirah dan ampunan-Nya. (10)

— Ahmad Rofiq, guru besar hukum Islam IAIN Walisongo, Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!