Terdapat minat besar dalam manajemen pendidikan di bagian awal abad 21. Hal ini karena kualitas kepemimpinan dipercaya
secara luas membuat perbedaan yang signifikan kepada sekolah dan siswa.
Di banyak bagian dunia, ada pengakuan bahwa sekolah membutuhkan
pemimpin dan manajer yang efektif jika mereka ingin memberikan
pendidikan yang terbaik kepada pelajar mereka. Ketika ekonomi global
mengalami resesi, pemerintah lebih menyadari bahwa aset utama mereka
adalah orang-orang yang kompetitif dan semakin tergantung pada sebuah
sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Hal ini
memerlukan guru-guru yang terlatih dan berkomitmen, dan pada gilirannya,
memerlukan kepemimpinan kepala sekolah yang sangat efektif dan dukungan
lain manajer senior dan menengah (Bush, in press).
Bidang
manajemen pendidikan adalah pluralis, dengan banyaknya kekurangan
perspektif dan kesepakatan yang tak terelakkan mengenai definisinya.
Salah satu kunci perdebatan apakah manajemen pendidikan telah menjadi
bidang yang berbeda atau hanya sebuah cabang studi yang lebih luas dari
manajemen. Sementara pendidikan dapat belajar dari manajemen lain,
manajemen pendidikan harus terpusat tujuan pendidikan. Tujuan atau
tujuan ini memberikan arti penting arah untuk mendukung manajemen
sekolah. Kecuali keterkaitan antara tujuan dan manajemen pendidikan yang
jelas dan dekat, ada bahaya ‘Managerialism’, “Penekanan pada prosedur
dengan mengorbankan tujuan pendidikan serta nilai-nilai “ (Bush, 1999:240).
1. Konsep Manajemen
Dari segi bahasa manajemen berasal dari kata manage (to manage) yang berarti “to conduct or to carry on, to direct”
(Webster Super New School and Office Dictionary), dalam Kamus Inggeris
Indonesia kata Manage diartikan “Mengurus, mengatur, melaksanakan,
mengelola”(John M. Echols, Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia) ,
Oxford Advanced Learner’s Dictionary mengartikan ‘to Manage’ sebagai “to succed in doing something especially something difficult….. Management the act of running and controlling business or similar organization” sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘Manajemen’
diartikan sebagai “Prose penggunaan sumberdaya secara efektif untuk
mencapai sasaran”(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Adapun dari segi
Istilah telah banyak para ahli telah memberikan pengertian manajemen,
dengan formulasi yang berbeda-beda, berikut ini akan dikemukakan
beberapa pengertian manajemen guna memperoleh pemahaman yang lebih
jelas.
Tabel 1.1 Pendapat Pakar tentang Manajemen
No
|
Pengertian manajemen
|
Pendapat
|
1.
|
The
most comporehensive definition views manajemen as an integrating
process by which authorized individual create, maintain, and operate
an organization in the selection an accomplishment of it’s aims
|
(Lester Robert Bittel (Ed), 1978 : 640)
|
2.
|
Manajemen
itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan
sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan (planning), diperlukan
untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang
tertentu
|
(Prajudi Atmosudirdjo,1982 : 124)
|
3.
|
Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective
|
( Boone& Kurtz. 1984 : 4)
|
4.
|
.. manajemen-the function of getting things done through people
|
(Harold Koontz, Cyril O’Donnel:3)
|
5.
|
Manajemen
merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari
tindsakan-tindakan : Perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, dan
poengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya
manusia serta sumber-sumber lain
|
(George R. Terry, 1986:4)
|
6.
|
Manajemen
dapat didefinisikan sebagai ‘kemampuan atau ketrampilan untuk
memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui
kegiatan-kegiatan orang lain’. Dengan demikian dapat pula dikatakan
bahwa manajemen merupakan alat pelaksana utama administrasi
|
(Sondang P. Siagian. 1997 : 5)
|
7.
|
Manajemen is the process of efficiently achieving the objectives of the organization with and through people
|
De Cenzo&Robbin
1999:5
|
Dengan
memperhatikan beberapa definisi di atas nampak jelas bahwa perbedaan
formulasi hanya dikarenakan titik tekan yang berbeda namun prinsip
dasarnya sama, yakni bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan adalah dalam
rangka mencapai suatu tujuan dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya
yang ada, sementara itu definisi nomor empat yang dikemukakan oleh G.R
Terry menambahkan dengan proses kegiatannya, sedangkan definisi nomor
lima dari Sondang P Siagian menambah penegasan tentang posisi manajemen
hubungannya dengan administrasi. Terlepas dari perbedaan tersebut,
terdapat beberapa prinsip yang nampaknya menjadi benang merah tentang
pengertian manajemen yakni :
1. Manajemen merupakan suatu kegiatan
2. Manajemen menggunakan atau memanfaatkan pihak-pihak lain
3. Kegiatan manajemen diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
Setelah
melihat pengertian manajemen, maka nampak jelas bahwa setiap organisasi
termasuk organisasi pendidikan seperti Sekolah akan sangat memerlukan
manajemen untuk mengatur/mengelola kerjasama yang terjadi agar dapat
berjalan dengan baik dalam pencapaian tujuan, untuk itu pengelolaannya
mesti berjalan secara sistematis melalui tahapan-tahapan dengan diawali
oleh suatu rencana sampai tahapan berikutnya dengan menunjukan suatu
keterpaduan dalam prosesnya, dengan mengingat hal itu, maka makna
pentingnya manajemen semakin jelas bagi kehidupan manusia termasuk
bidang pendidikan.
2. Konsep Manajemen Pendidikan
Setelah
memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman
tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip
serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan
terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala
sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan.
Oteng Sutisna
(1989:382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga
bidang perhatian dan kepentingan yaitu : (1) setting Administrasi
pendidikan (geografi, demograpi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan
pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3)
substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya,
asas-asasnya, dan prilaku administrasi), hal ini makin memperkuat bahwa
manajemen pendidikan mempunyai bidang dengan cakupan luas yang saling
berkaitan, sehingga pemahaman tentangnya memerlukan wawasan yang luas
serta antisipatif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat
disamping pendalaman dari segi perkembangan teori dalam hal manajemen.
Dalam
kaitannya dengan makna manajemen Pendidikan berikut ini akan
dikemukakan beberapa pengertian manajemen pendidikan yang dikemukakan
para ahli. Dalam hubungan ini penulis mengambil pendapat yang
mempersamakan antara Manajemen dan Administrasi terlepas dari
kontroversi tentangnya, sehingga dalam tulisan ini kedua istilah itu
dapat dipertukarkan dengan makna yang sama.
Tabel 2.1 Pendapat Pakar tentang manajemen Pendidikan
No
|
Pengertian manajemen Pendidikan
|
Pendapat
|
1.
|
Administrasi
pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses kerjasama
dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia
dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien…
|
Djam’an Satori, (1980: 4)
|
2.
|
Dalam
pendidikan, manajemen itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan
sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya
|
Made Pidarta, (1988:4)
|
3.
|
Manajemen
pendidikan ialah proses perencanaan, peng-organisasian, memimpin,
mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap,
mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan
|
Biro Perencanaan Depdikbud, (1993:4)
|
4.
|
educational administration is a social process that take place within the context of social system
|
Castetter. (1996:198)
|
5.
|
Manajemen
pendidikan dapat didefinisikan sebagi proses perencanaan,
pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber
daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan…
|
Soebagio Atmodiwirio. (2000:23)
|
6.
|
Manajemen
pendidikan ialah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber
daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan
bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta
di dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama
|
Engkoswara (2001:2)
|
dengan
memperhatikan pengertian di atas nampak bahwa manajemen pendidikan pada
prinsipnya merupakan suatu bentuk penerapan manajemen atau administrasi
dalam mengelola, mengatur dan mengalokasikan sumber daya yang terdapat
dalam dunia pendidikan, fungsi administrasi pendidikan merupakan
alat untuk mengintegrasikan peranan seluruh sumberdaya guna tercapainya
tujuan pendidikan dalam suatu konteks sosial tertentu, ini berarti bahwa bidang-bidang yang dikelola mempunyai kekhususan yang berbeda dari manajemen dalam bidang lain.
Menurut Engkoswara (2001:2) wilayah kerja manajemen pendidikan dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut :
Perorangan
|
Garapan
Fungsi
|
SDM
|
SB
|
SFD
|
|
Perencanaan
|
|
|||
Pelaksanaan
|
||||
Pengawasan
|
||||
Kelembagaan
|
Tabel 2.2 Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
gambar
di atas menunjukan suatu kombinasi antara fungsi manajemen dengan
bidang garapan yakni sumber Daya manusia (SDM), Sumber Belajar (SB), dan
Sumber Fasilitas dan Dana (SFD), sehingga tergambar apa yang sedang
dikerjakan dalam konteks manajemen pendidikan dalam upaya untuk mencapai
Tujuan Pendidikan secara Produktif (TPP) baik untuk perorangan maupun
kelembagaan Lembaga pendidikan seperti organisasi sekolah merupakan
kerangka kelembagaan dimana administrasi pendidikan dapat berperan dalam
mengelola organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dilihat dari tingkatan-tingkatan suatu organisasi dalam hal ini sekolah,
administrasi pendidikan dapat dilihat dalam tiga tingkatan yaitu
tingkatan institusi (Institutional level), tingkatan manajerial (managerial level), dan tingkatan teknis (technical level)
(Murphy dan Louis, 1999). Tingkatan institusi berkaitan dengan hubungan
antara lembaga pendidikan (sekolah) dengan lingkungan eksternal,
tingkatan manajerial berkaitan dengan kepemimpinan, dan organisasi
lembaga (sekolah), dan tingkatan teknis berkaitan dengan proses
pembelajaran. Dengan demikian manajemen pendidikan dalam konteks
kelembagaan pendidikan mempunyai cakupan yang luas, disamping itu
bidang-bidang yang harus ditanganinya juga cukup banyak dan kompleks
dari mulai sumberdaya fisik, keuangan, dan manusia yang terlibat dalam
kegiatan proses pendidikan di sekolah
Menurut Consortium on Renewing Education
(Murphy dan Louis, ed. 1999:515) Sekolah (lembaga pendidikan) mempunyai
lima bentuk modal yang perlu dikelola untuk keberhasilan pendidikan
yaitu :
1. Integrative capital (modal integrative)
2. Human capital (modal manusia)
3. Financial capital (modal keuangan)
4. Social capital (modal social)
5. Political capital (modal politik)
Modal integratif
adalah modal yang berkaitan dengan pengintegrasian empat modal lainnya
untuk dapat dimanfaatkan bagi pencapaian program/tujuan pendidikan. Modal manusia adalah sumberdaya manusia yang kemampuan untuk menggunakan pengetahuan bagi kepentingan proses pendidikan/pembelajaran. Modal keuangan adalah dana yang diperlukan untuk menjalankan dan memperbaiki proses pendidikan. Modal sosial adalah ikatan kepercayaan dan kebiasaan yang menggambarkan sekolah sebagai komunitas. Modal politik adalah dasar otoritas legal yang dimiliki untuk melakukan proses pendidikan/pembelajaran.
Dengan
pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa salah satu
fungsi penting dari manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan proses
pembelajaran, hal ini mencakup dari mulai aspek persiapan sampai dengan
evaluasi untuk melihat kualitas dari suatu proses tersebut, dalam
hubungan ini Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang melakukan
kegiatan/proses pembelajaran jelas perlu mengelola kegiatan tersebut
dengan baik karena proses belajar mengajar ini merupakan kegiatan utama
dari suatu sekolah (Hoy dan Miskel 2001). Dengan demikian nampak bahwa
Guru sebagai tenaga pendidik merupakan faktor penting dalam manajemen
pendidikan, sebab inti dari proses pendidikan di sekolah pada dasarnya
adalah guru, karena keterlibatannya yang langsung pada kegiatan
pembelajaran di kelas. Oleh karena itu Manajemen Sumber Daya Manusia
Pendidik dalam suatu lembaga pendidikan akan menentukan bagaimana
kontribusinya bagi pencapaian tujuan, dan kinerja guru merupakan sesuatu
yang harus mendapat perhatian dari fihak manajemen pendidikan di
sekolah agar dapat terus berkembang dan meningkat kompetensinya dan
dengan peningkatan tersebut kinerja merekapun akan meningkat, sehingga
akan memberikan berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan sejalan
dengan tuntutan perkembangan global dewasa ini.
3. Perkembangan Manajemen Pendidikan
(1) Teori Manajemen Kuno;
Sampai
dengan tingkat tertentu, manajemen telah dipraktekkan oleh masyarakat
kuno. Sebagai contoh, bangsa Mesir bisa membuat piramida. Bangunan yang
cukup kompleks yang hanya bisa diselesaikan dengan koordinasi yang baik.
Kekaisaran Romawi mengembangkan struktur organisasi yang jelas, dan
sangat membantu komunikasi dan pengendalian.
Meskipun
manajemen telah dipraktekkan dan dibicarakan di jaman kuno, tetapi
kejadian semacam itu relatif sporadis, dan tidak ada upaya yang
sistematis untuk mempelajari manajemen. Karena itu manajemen selama
beberapa abad kemudian “terlupakan”.
Pada
akhir abad 19-an, perkembangan baru membutuhkan studi manajemen yang
lebih serius. Pada waktu industrialisasi berkembang pesat, dan
perusahaan-perusahaan berkembang menjadi perusahaan raksasa.
(2) Teori Manajemen Klasik;
a) Teori Manajemen Klasik
· Robert Owen (1771-1858)
Owen
berkesimpulan bahwa manajer harus menjadi pembaharu (reformer). Beliau
melihat peranan pekerja sebagai yang cukup penting sebagai aset
perusahaan. Pekerja bukan saja merupakan input, tetapi merupakan sumber
daya perusahaan yang signifikan. Ia juga memperbaiki kondisi pekerjanya,
dengan mendirikan perumahan (tempat tinggal) yang lebih baik. Beliau
juga mendirikan toko, yang mana pekerjanya tidak kesusahan dan dapat
membeli kebutuhan dengan harga murah. Ia juga mengurangi jam kerja dari
15 jam menjadi 10,5 jam, dan menolah pekerja dibawah umur 10 tahun.
Owen
berpendapat dengan memperbaiki kondisi kerja atau invertasi pada sumber
daya manusia, perusahaan dapat meningkatkan output dan juga keuntungan.
Disamping itu Owen juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka dan
dilakukan setiap hari. Dengan cara seperti itu manajer diharapkan bisa
melokalisir masalah yang ada dengan cepat.
· Charles Babbage (1792-1871)
Babbage merupakan profesor matematika di Inggris. Dengan metode kuantitatifnya beliau percaya:
1. Bahwa prinsip-prinsip ilmiah dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi produksi, produksi naik biaya operasi turun.
2. Pembagian
Kerja (division of labor); dengan ini kerja/operasi pabriknya bisa
dianalisis secara terpisah. Dengan cara semacam ini pula training bisa
dilakukan dengan lebih mudah.
3. Dengan melakukan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang, maka pekerja akan semakin terampil dan berarti semakin efisien.
b) Teori Manajemen Ilmiah
· Federick Winslow Taylor (1856-1915)
Federick
Taylor disebut sebagai bapak manajemen ilmiah. Taylor memfokuskan
perhatiannya pada studi waktu untuk setiap pekerjaan (time and motion
study); dari sini ia mengembangkan analisis kerja. Taylor kemudian
memperkenalkan sistem pembayaran differential (differential rate).
Manajemen Taylor didasarkan pada langkah atau prinsip sebagai berikut :
1. Mengambangkan Ilmu untuk setiap elemen pekerjaan, untuk menggantikan pikiran yang didasari tanpa ilmu.
2. Memilih karyawan secara ilmiah, dan melatih mereka untuk melakukan pekerjaan seperti yang ditentukan pada langkah-1.
3. Mengawasi karyawan secara ilmiah, untuk memastikan mereka mengikuti metode yang telah ditentukan.
4. Kerjasama antara manajemen dengan pekerja ditingkatkan. Persahabatan antara keduanya juga ditingkatkan
· Frank B. Gilberth (1868-1924) dan Lillian Gilberth (1887-1972)
Keduanya
adalah suami istri yang mempunyai minat yangsama terhadap manajemen.
Menurut Frank pergerakan yang dapat dihilangkan akan mengurangi
kelelahan. Semangat kerja akan naik karena bermanfaat secara fisik pada
karyawan. Sedang Lilian memberikan kontribusi pada lapangan psikologi
industri dan manajemen personalia. Beliau percaya bahwa tujuan akhir
manajemen ilmiah adalah membantu pekerja mencapai potensi penuhnya
sebagai seorang manusia. Keduanya mengembangkan rencana promosi tiga
tahap, yaitu :
1. Menyiapkan Promosi
2. Melatih Calon Pengganti
3. Melakukan Pekerjaan
Menurut
metode tersebut, seorang pekerja akan bekerja seperti biasa, sambil
menyiapkan promosi karir, dan melatih calon penggantinya. Dengan
demikian pekerja akan menjadi pelaksana, pelajar yaitu menyiapkan karir
yang lebih tinggi, dan pengajar dalam arti mengajari dalon pengganti.
· Henry L. Gantt (1861-1919)
Gantt
melakukan perbaikan metode sistem penggajian Taylor (differential
system) karena menurutnya metode tersebut kurang memotivasi kerja.
Sistem Pengawasan (supervisor) diterapkannya sebagai upaya untuk memacu
semangat kerja karyawan. Disamping itu Gantt juga memperkenalkan sistem
penilaian terbuka yang awalnya merupakan ide Owen. Gantt chart (bagan
Gantt) kemudian populer dan gigunakan untuk perencanaan, yaitu mencatat
scedul (jadwal) pekerja tertentu.
c) Teori Manajemen Organisasi
· Henry Fayol (1841-1925)
Henry
Fayol merupakan industrialis Prancis, ia sering disebut sebagai bapak
aliran manajemen klasik karena upaya “mensistematisir” studi manajerial.
Menurut Fayol, praktek manajemen dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
pola yang dapat diidentifikasi dan dianalisis. Dan selanjutnya analisis
tersebut dapat dipelajari oleh manajer lain atau calon manajer.
Fayol
adalah orang yang pertama mengelompokkan kegiatan menajerial dalam 4
fungsi manajemen, yaitu : (1) Perencanaan, (2) Pengorganisasian, (3)
Pengarahan, dan (4) Pengendalian. Fayol percaya bahwa manajer bukan
dilahirkan tetapi diajarkan. Manajemen bisa dipelajari dan dipraktekkan
secara efektif apabila prinsip-prinsip dasarnya dipahami.
· Max Weber (1864-1920)
Max
Weber adalah seorang ahli sosiologi Jerman yang mengembangkan teori
birokrasi. Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri dari ribuan anggota
membutuhkan aturan jelas untuk anggota organisasi tersebut. Organisasi
yang ideal adalah birokrasi dimana aktivitas dan tujuan diturunkan
secara rasional dan pembagian kerja disebut dengan jelas. Birokrasi
didasarkan pada aturan yang rasional yang dapat dipakai untuk mendesain
struktur organisasi yang jelas.
Konsep
birokrasi Weber berlainan dengan pengertian birokrasi populer, dimana
orang cnderung mengartikan kata birokrasi dengan konotasi negatif, yaitu
organisasi yang lamban, tidak reponsif terhadap perubahan.
· Mary Parker Follet (1868-1933)
Mary
Parker Follet agak berbeda sedikit dengan pendahulunya karena
memasukkan elemen manusia dan struktur organisasi kedalam analisisnya.
Elemen tersebut kemudian muncul dalam teori perilaku dan hubungan
manusia. Follet percaya bahwa seseorang akan menjadi manusia sepenuhnya
apabila manusia menjadi anggota suatu kelompok. Konsekuensinya, Follet
percaya bahwa manajemen dan pekerja mempunyai kepentingan yang sama,
karena menjadi anggota organisasi yang sama.
Selanjutnya Follet mengembangkan model perilaku pengendalian organisasi dimana seseorang dikendalikan oleh tiga hal, yaitu :
1. Pengendalian diri (dari orang tersebut);
2. Pengendalian kelompok (dari kelompok);
3. Pengendalian bersama (dari orang tersebut dan dari kelompok).
· Chester I Barnard (1886-1961)
Bernard
mengambangkan teori organisasi, menurutnya orang yang datang
keorganisasi formal (seperti perusahaan) karena ingin mencapai tujuan
yang tidak dapat dicapai sendiri. Pada waktu mereka berusaha mencapai
tujuan organisasi, mereka juga akan berusaha mencapai tujuannya sendiri.
Organisasi bisa berjalan dengan efektif apabila keseimbangan tujuan
organisasi dengan tujuan anggotanya dapat terjaga.
Bernard
percaya bahwa keseimbangan antara tujuan organisasi dengan individu
dapat dijaga apabila manajer mengerti konsep wilayah penerimaan (zone of
acceptance), dimana pekerja akan menerima instruksi atasannya tanpa
mempertanyakan otoritas manajemen.
(3) Teori Manajemen Kontemporer.
Beberapa
pendekatan sudah dibicarakan dimuka, dimana pendekatan-pendekatan
tersebut mengalami perkembangan. Ada beberapa perkembangan yang
cenderung mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sebelumnya, menjadikan
batas-batas pendekatan yang telah dibicarakan menjadi tidak jelas. Namun
demikian ada pendekatan yang tetap berakar pada pendekatan-pendekatan
tertentu. Bagian berikut ini akan membicarakan pendekatan baru dalam
manajemen :
1) Pendekatan Sistem
Sistem
dapat diartikan sebagai gabungan sub-sub sistem yang saling berkaitan.
Organisasi sebagai suatu sistem akan dipandang secara keseluruhan,
terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan (sub-sistem), dan
sistem/organisasi tersebut akan berinteraksi dengan lingkungan.
Model pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai berikut[10] :
Pada
proses selanjutnya pendekatan inilah yang selama ini digunakan dalam
sistem manajemen pendidikan di indonesia. Sebelum munculnya sistem
pendekatan-pendekatan yang baru.
2) Pendekatan Situasional (Contingency)
Pendekatan
ini menganggap bahwa efektivitas manajemen tergantung pada situasi yang
melatarbelakanginya. Prinsip manajemen yang sukses pada situasi
tertentu, belum tentu efektif apabila digunakan di situasi lainnya.
Tugas manajer adalah mencari teknik yang paling baik untuk mencapai
tujuan organisasi, dengan melihat situasi, kondisi, dan waktu yang
tertentu.
Pendekatan
situasional memberikan “resep praktis” terhadap persoalan manajemen.
Tidak mengherankan jika pendekatan ini dikembangkan manajer, konsultan,
atau peneliti yang banyak berkecimpung dengan dunia nyata. Pendekatan
ini menyadarkan manajer bahwa kompleksitas situasi manajerial, membuat
manajer fleksibel atau sensitif dalam memilih teknik-teknik manajemen
yang terbaik berdasarkan situasi yang ada.
Namun
pendekatan ini dalam perkembangannya dikritik karena tidak menawarkan
sesuatu yang baru. Pendekatan ini juga belum dapat dikatakan sebagai
aliran atau disiplin manajemen baru, yang mempunyai batas-batas yang
jelas.
3) Pendekatan Hubungan Manusia Baru (Neo-Human Relation)
Pendekatan
ini berusaha mengintegrasikan sis positif manusia dan manajemen ilmiah.
Pendekatan ini melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang emosional,
intuitif, dan kreatif. Dengan memahami kedudukan manusia tersebut,
prinsip manajemen dapat dikembangkan lebih lanjut. Tokoh yang dapat
disebut mewakili aliran ini adalah W. Edwadr Deming, yang mengembangkan
prinsip-prinsip manajemen seperti Fayol yang berfokus pada kualitas
kerja dan hubungan antar karyawan.
Dalam
perjalanannya pendekatan ini masih membutuhkan waktu untuk sampai
dikatakan sebagai aliran manajemen baru. Meskipun demikian pendekatan
tersebut cukup populer baik dilingkungan akademis maupun praktis.
Ide-ide pendekatan tersebut banyak mempengaruhi praktek manajemen saat
ini.
4. STUDI KASUS DI INDONESIA
a. Penerapan Manajemen Pendidikan di Indonesia
Ada
dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan,
yakni (1) evaluasi pendidikan, dan (2) pemikiran untuk memfungsikan
pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik kedalam
menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena
menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah : a)
pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah
kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola
berfikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e)
pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu
membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa
linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan
kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan
membudayakan peserta didik.
Fenomena
tersebut di atas, itu semua adalah tentang evaluasi dari pendidikan
kita yang ada sekarang ini. Sedangkan pemikiran untuk memfungsikan
pendidikan di Indonesia dirasa selain merupakan tuntutan kebutuhan di
atas, juga dibutuhkan adanya (1) “peace education” pendidikan yang damai
/ menyejukkan; (2) pendidikan yang mampu membangun kehidupan
demokratik; (3) pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat menjunjung
tinggi HAM, dan (4) pendidikan yang mampu membangun keutuhan pribadi
manusia berbudaya.
Dari
persoalan tersebut diatas, jelas bahwa dunia pendidikan kita masih jauh
dari nilai-nilai yang ingin dicapai. Apa yang salah dari ini semua?
Sebuah pertanyaan yang mungkin akan kita jawab bersama sebagai manusia
yang peduli terhadap dunia pendidikan. Kalau kita cermati lebih jauh,
apa yang telah diperbuat oleh lembaga pendidikan dewasa ini - yang telah
dengan susah payah menerapkan berbagai teori manajemen pendidikan yang
cocok untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan – masih jauh dari
harapan yang sebenarnya.
Kebijakan
mulai dari CBSA (cara belajar siswa aktif) sampai sekarang yang
didengung-dengungkan dengan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) adalah
berbagai upaya dunia pendidikan kita untuk mencerdaskan anak didiknya
sesuai dengan perkembangan zaman. Muncul lagi MBS (manajemen berbasis
sekolah) adalah sebuah alternatif pemecahan yang menginginkan
pengelolaan pendidikan yang dibebankan kepada sekolah, sehingga apa yang
diinginkan suatu daerah (lembaga pendidikan) terhadap potensi anak
didiknya bisa tersalurkan dengan baik. Ini adalah sedikit tentang
bagaimana sebenarnya penerapan pendidikan di Indonesia, dn masih banyak
lagi model-model yang diterapkan.
Kalau
kita lihat bagaimana sebuah lembaga pendidikan menerapkan apa yang
telah ada dalam teori manajemen pendidikan, maka mungkin apa yang
terjadi di atas minimal dapat terhindarkan. Lagi-lagi itu semua karena
kebijakan pendidikan kita selama ini masih sangat semrawut. Sehingga
hasil yang diharapkan dari komponen-komponen penyelenggara pendidikan
antara satu komponen dengan komponen yang lain masih sangat jauh berbeda
bahkan ada yang bertentangan.
b. Beberapa Masalah Manajemen di Indonesia
Sejak
zaman orde lama, orde baru sampai sekarang zaman reformasi, sistem
pendidikan Nasional kita masih belum mempunyai perubahan yang
signifikan. Persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat
kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut persoalan mutu
pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Mengenai
mutu pendidikan menurut Paul Suparno adalah masalah mengenai kurikulum,
proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan
prasarana. Termasuk pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak
umur sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah.
Sedang persoalan manajemen pendidikan adalah menyangkut segala macam
pengaturan pendidikan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan
transparansi agar kualitas dam pemerataan pendidikan dapat
terselesaikan.[11]
Inilah
persoalan yang besar sebenarnya, karena bagaimanapun juga ketika sebuah
intitusi pendidikan tidak mempunyai sistim manajemen pendidikan yang
baik, maka dapat dipastikan mutu pendidikannya pun bisa jadi tidak baik
pula. Sebagaimana yang dirasakan dalam sistem manajemen pendidikan kita
dewasa ini, dengan munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dimungkinkan akan sedikit menjawab persoalan tersebut.
Di
atas juga sudah diterangkan tentang manajemen secara umum yang itu
diterapkan dalan manajemen pendidikan kita. Seperti halnya sistem
manajemen yang ditemukan oleh tokoh-tokoh manajemen, yaitu (POAC)
Planning, Organizing, Actuating, dan Controling. Adalah sistem manajemen
yang sangat luar biasa ketika itu dilakasanakan dengan sempurna.
Sistem
Manajemen Pendidikan yang terjadi di Indonesia sejak zaman orde baru
(yang masih menggunakan manajemen pendidikan sentralistik) sampai
kemudian muncul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah cenderung
kepada otomisasi lembaga-lembaga pendidikan (desentralisasi pendidikan),
mempunyai arti yang sangat luas. Disamping mempunyai kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Persoalan inilah yang akan kita bahas
selanjutnya.
c. Analisis
Sejak
zaman Orde Baru telah banyak yang di capai dalam pembangunan nasional
termasuk bidang pendidikan. Kemajuan ini juga mendapat pengakuan dari
seluruh dunia dengan diberikannya penghargaan Avisiena kepada Presiden
Republik Indonesia karena keberhasilan melaksanakan wajib belajar
sekolah dasar. Namun ditengah-tengah kesuksesan yang telah dicapai
tersebut masih banyak permasalahan yang perlu diselesaikan, seperti
halnya pengangguran tenaga-tenaga terdidik hasil dari sistem pendidikan
kita. Disatu pihak pendidikan kita telah melahirkan lulusan pendidikan
tinggi dan menengah tetapi dilain pihak menambah pengangguran.[12]
Sebagaimana
dijelaskan oleh H.A.R Tilaar, bahwa di dalam sistem pendidikan
sekurang-kurangnya berisi faktor-faktor biaya, pengelola, institusi, dan
sistem manajemennya.[13] Sistem manajemen pendidikan kita (era orde
lama dan orde baru) masih terlalu sentralistik (pemerintah pusat),
sebagaimana kita tahu bahwa suatu sistem yang sentralistik dan
birokratik, maka ruang-gerak untuk inovasi sangat terbatas. Demikian
pula kreativitas dari para pendidiknya boleh dikatakan menjadi hilang
karena segala sesuatu telah ditentukan menurut garis-garis yang
ditentukan. Sehingga apa yang diinginkan daerah (lembaga pendidikan)
tidak tercapai karena sifat yang sentralistik tersebut. Hasilnya adalah
jumlah out-put banyak namun itu menambah pengangguran yang banyak pula.
Pada
era reformasi mulai muncul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) seiring
dengan bergulirnya otonomi daerah (pelimpahan wewenang pemerintah pusat
pada pemerintah daerah). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam
bahasa Inggris disebut ”School Based Management” merupakan strategi yang
jitu untuk mencapai manajemen sekolah yang efektif dan efisien. Konsep
ini pertama kali muncul di Amerika Serikat, latar belakangnya adalah
ketika itu masyarakat mempertanyakan apa yang dapat diberikan sekolah
kepada masyarakat dan juga apa relevansi dan korelasi pendidikan dengan
tuntutan maupun kebutuhan masyarakat.[14]
Model
MBS ini adalah suatu ide dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat
dengan proses belajar mengajar, yakni sekolah. Konsep ini didasarkan
pada “Self Determination Theory” yang menyatakan bahwa apabila seseorang
atau kelompok memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri,
maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang
besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan tersebut.[15] Dalam
pelaksanaan MBS tersirat adanya tugas sekolah untuk meningkatkan mutu
pendidikan menggunakan strategi yang lebih memberdayakan semua potensi
sekolah secara optimal.
Sisi
kelebihan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dibandingkan dengan model
sentralistik adalah sekolah memiliki kekuasaan, antara lain : (1)
mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kurikulum; (2)
keputusan berkaitan dengan rekruitmen dan pengelolaan guru dan pegawai
administrasi; (3) keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Dengan
demikian dapat dilihat sekaligus ditegaskan bahwa model MBS ini pada
hakekatnya adalah memberikan otonomi yang lebih luas kepada sekolah,
dengan tujuan akhir meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan
melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakeholdernya.
Demikian
pula yang disampaikan Mulyasa bahwa kewenangan yang bertumpu pada
sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat
efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut : (1)
Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
peserta didik, orang tua, dan guru; (2) Bertujuan bagaimana memanfaatkan
sumber daya lokal; dan (3) Efektif dalam melakukan pembinaan peserta
didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat
putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.[16]
Disamping
itu dalam sebuah sekolah, tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral
dan intelektual akhirnya tidak terletak pada salah satu prosedur atau
kegiatan baik intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler; akan tetapi
terletak pada pengajarnya. Sekolah merupakan kebersamaan bersemuka,
tempat hubungan personel otentik antara pengajar dan pelajar dapat
berkembang. Tanpa persahabatan ragam itu banyak kekuatan dari pendidikan
dan pengajaran akan menghilang. Hubungan saling percaya dan
persahabatan otentik antara pengajar dan pelajar merupakan syarat mutlak
pertumbuhan sejati dari komitmen kepada nilai-nilai. Proses itu semua
akan terwujud ketika berada dalam ruang lingkup manajemen yang baik, dan
ini menurut J. Drost, SJ akan terwujud dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)[17].
DAFTAR PUSTAKA
E.
Mulyasa, Dr. M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan
Implementasi), Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, cet. 3 & 4, 2003.
H. Syaiful Sagala, Dr. M.Pd., Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung. 2000.
H.A.R.
Tilaar, Prof. Dr. M.Sc.Ed., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional (dalam perspektif abad 21), Magelang, Tera Indonesia. 1998.
J.
Drost, SJ., Dari KBK (Kurikulum Bertujuan Kompetensi) Sampai MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah), Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2005.
Luwis R. Benston, Supervision and Management, New York, McGraw Hill Book Company, 1972.
Made Pidarta, Prof. Dr., Manajemen Pendidikan Indonesia, Crt. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.
Mamduh M. Hanafi, Drs. MBA, Manajemen, Yogyakarta, Unit Penerbitan dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997.
Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1985.
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan
Penjelasannya, Yogyakarta, Media Wacana Press, 2003.
Wajong J, Fungsi Administrasi Negara, Jakarta, Djambatan, 1983.
________________________________________
[1]
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dan Penjelasannya, Yogyakarta, Media Wacana Press, 2003. hlm. 9
[2]
Drs. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen, Yogyakarta, Unit Penerbitan dan
Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997. hlm. 30
[3] Prof. Dr. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Crt. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, hlm. 1
[4] Wajong J, Fungsi Administrasi Negara, Jakarta, Djambatan, 1983. hlm. 01 & 27.
[5] Luwis R. Benston, Supervision and Management, New York, McGraw Hill Book Company, 1972, hlm. 278-279.
[6] Drs. Mamduh M. Hanafi, MBA, Op_Cit., hlm. 6
[7] Dr. H. Syaiul Sagala, M.Pd, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung, Alfabeta, 2000, hlm. 22
[8] Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1985.
[9] Prof. Dr. Made Pidarta, Op_Cit., hlm. 04
[10] Drs. Mamduh M. Hanafi, MBA, Op_Cit., hlm. 46
[11]
J. Drost, SJ., Dari KBK (Kurikulum Bertujuan Kompetensi) Sampai MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah), Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara. 2005.
hlm. ix.
[12]
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional (dalam perspektif abad 21), Magelang, Tera Indonesia. 1998.
hlm. 75
[13] Ibid. hlm. 79.
[14] Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd., Op_Cit., hlm. 78.
[15] Ibid., hlm. 79.
[16]
Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan
Implementasi), Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, cet. 3 & 4, 2003.
hlm. 24.
[17] J. Drost, SJ., Op_Cit., hlm. 120-125.
Thanks, berguna bgt...
BalasHapusnumpang nyedot gan...
Tq Boss...Mbantu sekali...Boleh jadi salah satu rujukan dong?
BalasHapusTulisan anda sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas mata kuliah saya.Trima kasih banyak.(Juanda)
BalasHapusKarya anda sangat bermanfaat bagi banyak orang, termasuk saya, terima kasih (aspriess@gmail.com)
BalasHapuskarya anda sangat membantu tugas-tugas saya terimakasih banyak sudah sangat membantu
BalasHapusKARYA ANDA SANGAT MEMBANTU SAYA DLM MENGERJAKAN TUGAS-TUGAS SAYA TERIMAKASIH
BalasHapusapa yang dimaksud dengan manajemen? regard Telkom University
BalasHapus