Sabtu, 02 April 2011

Sebuah Review Pendidikan Nasional

by : Anan Nur


Dalam sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia, eksistensi pendidikan telah menunjukkan perannya yang amat penting. Sejarah juga telah mencatat bahwa bangsa-bangsa yang memiliki tradisi pendidikan yang baik telah mengalami kemajuan peradaban dan kebudayaan yang hebat. Di akhir perang dunia 2, setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh tentara sekutu, Jepang nyaris lumpuh total dalam seluruh aspek kehidupannya. Saat itu, Kaisar menyatakan bahwa tiada lagi yang tersisa selain tanah dan air.
Akal sehat mengatakan dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Jepang untuk bangkit kembali. Namun, perkiraan akal sehat itu dijungkirbalikkan oleh Jepang. Dalam waktu yang relatif singkat, Jepang mampu bangkit, bahkan lebih powerfull daripada sebelum dibom atom, hingga mampu menyaingi Amerika. Kebangkitan Jepang yang spektakuler tersebut menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, ‘Apa rahasia kebangkitan Jepang itu ?’ . Klik disini untuk sedot...   atau

Konon, setelah Jepang menyerah kalah, kaisar Jepang mengumpulkan pejabat-pejabat pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan adalah "Berapa guru yang masih hidup ?   Berapa sekolah yang masih berdiri?"
Apa artinya itu ?
Bagi Sang Kaisar, tidak masalah Jepang dihancurkan, asalkan sistem pendidikannya masih bisa dijalankan. Dan Jepang telah membuktikan, kemajuan peradaban dan kebudayaannya disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pendidikan nasionalnya.
Kejadian serupa juga terjadi pada bangsa Amerika. Pada 4 Oktober 1957, Uni Sovyet meluncurkan Spotnic, pesawat luar angkasanya yang pertama. Kontan saja peristiwa itu mengguncang seluruh negeri Amerika. Amerika yang menjadi pemenang dalam PD 2 justru kedahuluan Uni Sovyet dalam pengembangan teknologi luar angkasa. Kejadian ‘memalukan’ ini ternyata telah membangkitkan semangat bangsa Amerika untuk mengejar ketertinggalannya dari Uni Sovyet, musuh bebuyutannya kala itu.
Alhasil, pada tanggal 14 Juli 1969, bangsa Amerika telah berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan.  Artinya, hanya dalam waktu 12 tahun, mereka mampu mengungguli teknologi angkasa luas Uni Sovyet. Sebuah pencapaian yang maha dahsyat. Sekali lagi, pertanyaannya, apa rahasia kedahsyatan ini ?
Ketika bangsanya merasa dipermalukan oleh Uni Sovyet, presiden Amerika membentuk tim khusus untuk menanggapi kejadian itu. Terhadap tim ini, presiden tidak menginstruksikan menggali rahasia keberhasilan Uni Sovyet menggungguli mereka, tapi member tugas tim untuk mengkaji ulang kurikulum pendidikan mereka, mulai dari kurikulum tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Dalam situasi perang dingin, tugas semacam itu tidak masuk akal bagi kebanyakan politisi Amerika saat itu. Sebuah tugas yang akan sia-sia, pikir mereka. Namun, tim tetap menjalankan tugasnya sesuai instruksi presiden.  Akhirnya, dengan bekerja keras, tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan Amerika dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Berikutnya, mereka mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala dimensinya. Mulai dari kurikulum, jenis mata pelajaran, guru, system pendidikan guru, fasilitas, sampai dengan sistem evaluasi pendidikannya. Upaya keras itu pun membuahkan hasil yang amat memuaskan. Dalam kurun 12 tahun, cita-cita mereka bisa tergapai, mengungguli Uni Sovyet.
Kedua ilustrasi di atas member gambaran kepada kita bahwa pendidikan merupakan faktor determinan bagi kemajuan sebuah bangsa. Lalu, bagaimana dengan bangsa kita ? Apakah dunia pendidikan kita telah memainkan peran seperti itu Apa yang telah dihasilkan oleh Pendidikan Nasional kita ?
Jika boleh jujur, Pendidikan Nasional kita hanya mampu menghasilkan murid-murid yang fasih menirukan teori-teori yang telah diajarkan oleh gurunya; murid-murid yang tidak pernah mengerti mengapa mereka harus mempelajari pelajaran ini-itu di sekolah; murid-murid yang hanya memikirkan bagaimana mengerjakan soal-soal unas dengan benar; dan manusia-manusia yang hanya bisa menggenggam selembar kertas bernama ijazah tanpa mengerti apa yang bisa dilakukan terhadap diri dan masyarakat mereka.
Di tingkat pendidikan tinggi, keadaannya relatif tak jauh berbeda. Sarjana-sarjana kita hanya pandai menirukan teori-teori asing alias menjadi pembebek, tanpa berani ( bisa ? ) melakukan inovasi atas teori-teori tersebut. Bahkan,tragisnya, para sarjana kita, akan ramai-ramai mengeroyok jika ada sejawatnya yang berani coba-coba mengemukakan teori penemuannya. Maka tak mengherankan, ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, kita tidak mendengar hasil studi sarjana ekonomi kita membuahkan inovasi bagi penyelesaian krisis ekonomi masyarakat; meski pun program studi pertanian telah tersebar ke se antero nusantara, tapi di negeri sendiri, buah-buahan kita ‘dibantai’ oleh buah-buahan dari Thailand, dan sarjana pertanian kita tak mampu berbuat apa-apa;  karya-karya tulis sarjana-sarjana kita masih jarang, yang banyak memenuhi bursa-bursa buku adalah karya-karya terjemahan; dan masih banyak fakta memilukan karena pendidikan kita yang tidak memadai.
Fenomena di atas, mau tidak mau, harus membuat kita melakukan kajian ulang mulai dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan, kurikulum pendidikan sampai dengan proses belajar-mengajar di kelas-kelas. Mengapa harus dilakukan kajian secara holistik, karena kesalahan-kesalahannya terjadi di hampir segala lini.
  1. Pendidikan Yang Merata
Di hampir semua bangsa, tanggung-jawab mencerdasarkan bangsa terutama terletak di pundak negara. Artinya, pemerintah bertanggung-jawab menyediakan pendidikan bagi seluruh warganya. Semua warga negara usia sekolah punya hak mutlak untuk memperoleh pendidikan formal sampai pada jenjang tertentu sesuai dengan kemampuan pemerintah.
Sejak lebih kurang dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama adalah termasuk pendidikan dasar. Dan juga telah diputuskan bahwa setiap warga negara usia sekolah berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara gratis. Dengan demikian, baik warga negara yang miskin maupun yang kaya, memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar secara adil. Adil yang dimaksud di sini, mestinya adil secara kuantitas dan kualitas.
Pertanyaan kita sekarang adalah sudahkah keadilan yang dimaksud sudah terjadi ?
Dari sudut kuantitas relatif sudah terjadi. Pada tahun 2009, sekurang-kurangnya 95% anak usia 7-15 tahun telah memperoleh kesempatan untuk belajar sampai dengan sekolah menengah pertama (SMP) atau yang sederajat. Namun perlu dicatat bahwa angka 95% di atas bukanlah semata-mata karena keberhasilan pemerintah. Peran masyarakat ternyata juga cukup tinggi, terutama dalam hal pendanaan. Menurut Ki Supriyoko, biaya satuan pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orangtua yang anaknya bersekolah di SD negeri mencapai angka Rp 5,967 juta, di SD swasta Rp 7,506 juta. Sementara yang anaknya bersekolah di SMP negeri mencapai angka Rp 7,528 juta dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta.
Dari keterangan di atas, ternyata, meski pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20%, bukan berarti masyarakat benar-benar gratis menikmati pendidikan dasar. Maka tak heran jika masyarakat miskin masih kesulitan memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu. Sepengetahuan penulis, hanyalah sekolah-sekolah ( maaf ) swasta yang relatif tidak bermutu yang ‘berani’ menggratiskan biaya pendidikan pada murid-muridnya. Dari mana sekolah-sekolah ini membiayai operasional sekolah dan gaji guru-gurunya? Dari dana BOS !
Dengan begitu, ke depan, pemerintah dituntut lebih sungguh-sungguh dalam mewujudkan amanat UU Sisdiknas pasal 34. Sebagaimana kita ketahui bahwa bunyi pasal 34 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan besaran dana pendidikan nasional sebesar 20% dari total APBN.  Disetujuinya anggaran pendidikan nasional sebesar 20% ini merupakan sebuah perjuangan yang panjang karena harus berhadapan dengan ego masing-masing departemen. Namun, penetapan anggaran sebesar 20% tersebut bukan berarti masalah-masalah pendidikan, meski pun yang berkaitan dengan jumlah anggaran, bisa dianggap selesai. Jika anggaran sebesar itu tidak bisa dimanfaatkan dengan tepat, efektif, efisien dan bebas penyimpangan, maka peningkatan anggaran pendidikan ini akan menjadi sia-sia.
Yang pertama, anggaran sebesar itu, pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang matang. Artinya, pemanfaatannya harus mempertimbangkan unsur keadilan. Peningkatan anggaran pendidikan nasional ini bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik dan pengelola pendidikan saja, tetapi juga untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Boleh saja pemerintah menaikkan pendapatan para pendidik dan pengelola pendidikan, tetapi peningkatan kesejahteraan tersebut harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme mereka. Karena itu, mekanismenya perlu dirancang sebaik mungkin sebelum peningkatan kesejahteraan mereka dilakukan. Jangan sampai seperti yang terjadi pada proses sertifikasi guru selama ini. Karena proses sertifikasi yang dilakukan tidak memadai, maka pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru kurang mendorong peningkatan profesionalisme mereka. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan pendidik tidak berimplikasi bagi kesejahteraan masyarakat secara umum.
Tuntutan keadilan berikutnya adalah berkaitan dengan pemberian pelayanan pendidikan bagi masyarakat secara umum. Dengan mata telanjang, saat ini kita bisa melihat ketimpangan-ketimpangan dalam penyaluran dana kepada sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Sekolah-sekolah diperkotaan, terutama yang dipandang lebih maju, sangat sering mendapat gelontoran dana dari pemerintah. Sementara, sebagian besar sekolah yang berada di pedesaan atau sekolah yang dianggap kurang berprestasi jarang memperoleh dana dari pemerintah. Akibatnya, ketimpangan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah yang dipandang maju dengan sekolah-sekolah lainnya semakin lebar. Karena, salah satu determinan keunggulan lembaga pendidikan adalah besarnya anggaran pengembangan yang dimiliki.
Dan yang lebih memilukan, ‘sekolah-sekolah maju’ ini biasanya mematok harga yang cukup mahal bagi siswa-siswanya. Pasalnya, sekolah dengan fasilitas relatif ‘glamour’ ini pasti menjadi rebutan masyarakat. Maka, berapa pun tarif yang dikenakan kepada siswa, sekolah-sekolah demikian pasti menjadi rebutan.
Siswa-siswa yang ingin masuk ke sana harus melalui arena persaingan yang sangat ketat. Dan parameter untuk diterima di sekolah-sekolah tersebut adalah tingkat status sosial orangtua siswa. Dengan parameter demikian, anaknya orang miskin menjadi ‘diharamkan menginjakkan kaki’ di sekolah-sekolah favorit tersebut. Dengan begitu, pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pengembangan sarana pendidikan telah menjadi sarana yang mempertajam segregasi sosial. Padahal, seharusnya anggaran tersebut menjadi sarana untuk menciptakan keadilan di tengah masyarakat.
Dengan fenomena di atas, harus dibuat aturan yang jelas untuk menyalurkan anggaran pendidikan tersebut. Anggaran pendidikan nasional seharusnya berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Untuk itu, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah menetapkan standard bagi sarana dan prasarana lembaga pendidikan yang berlaku secara nasional. Kemudian, dengan parameter tersebut, dilakukan pemetaan bagi sekolah-sekolah yang ada. Dari sini akan ditemukan sekolah-sekolah yang berada di bawah standard. Tahap berikutnya adalah merencanakan pembiayaan bagi peningkatan kualitas sekolah-sekolah di bawah standard ini. Peningkatan kualitas ini tentu bukan saja dalam bidang sarana, tetapi juga meliputi manajemen, SDM, serta layanan penunjang pendidikan lainnya. Dengan begitu, disparitas antara sekolah maju dan sekolah terbelakang bisa direduksi. Dan akhirnya, seluruh warga masyarakat, baik kaya mau pun miskin, akan dapat memperoleh pelayanan pendidikan secara relatif adil.
Yang kedua, penggunaan anggaran pendidikan harus disertai mekanisme kontrol yang memadai. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa depdiknas merupakan salah satu institusi tempat tumbuh suburnya tindakan korupsi.
Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”. Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan.( AkhmadSudrajat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/23/inilah-korupsi-di-dunia-pendidikan-kita/ )
Untuk mereduksi praktek-praktek korupsi di dunia pendidikan, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di Depdiknas. Jika perlu, laporan-laporan
2.      Memaksimalkan peranan Komite Sekolah. Barangkali kita semua sudah mahfum bahwa peranan Komite Sekolah saat ini tak ubahnya dengan peranan BP3 jaman sebelumnya. Peranannya sebatas tukang stempel hasrat pihak sekolah untuk mengeruk dana masyarakat untuk kepentingan yang kurang bisa dipertanggung-jawabkan. Maka, perlu dibuat regulasi untuk lebih memberdayakan peran komite sekolah dalam mengontrol penggunaan dana oleh manajemen sekolah.
3.      Pemerintah harus menetapkan angka maksimal yang boleh ditarik dari orangtua siswa oleh sekolah. Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah perilaku ugal-ugalan pihak sekolah dalam mengeruk dana masyarakat ( orantua siswa ).
4.      Meningkatkan penindakan terhadap kasus korupsi di dunia pendidikan. Peningkatan seperti ini perlu dilakukan mengingat potensi kerugian negara akibat korupsi di dunia pendidikan cukup tinggi, apalagi jika diingat bahwa saat ini anggaran pendidikan saat ini cukup tinggi. Jika perlu, dibentuk komisi khusus ( semacam KPK ) yang dikhususkan menangani korupsi di dunia pendidikan. Komisi ini memiliki kewenangan menindak korupsi mulai dari tingkat kementerian hingga tingkat sekolah.

Jika saja anggaran pendidikan sebesar 20% digunakan dengan perencanaan yang matang, dengan memperhatikan azas pemerataan dan keadilan, dan dengan mekanisme kontrol yang memadai, maka cita-cita memberikan pendidikan dasar gratis bagi semua bukan lagi menjadi mimpi. Bahkan, bisa jadi untuk jenjang menengah atas juga bisa digratiskan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan serius, mengingat, untuk bisa bekerja dengan penghasilan relatif  layak, seseorang harus tamat jenjang menengah atas.

  1. Tujuan Pendidikan Nasional Yang Memberdayakan
Para ahli berpendapat bahwa saat ini bangsa kita mengalami krisis multidimensional. Artinya, kita sedang mengalami krisis di bidang ekonomi, politik, ideologi, budaya dan lainnya. Mengapa hal ini terjadi ?
Prof. Dr. Soedijarto, MA dalam bukunya ‘Landasan dan Arah Pendidikan Nasional’  memandang bahwa hal ini ( krisis multidimensional ) terjadi tidak lain karena pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna sebagai transformasi budaya menuju mantapnya kehidupan negara bangsa Indonesia.
Belum mantapnya sistem politik, belum mapannya sistem ekonomi nasional, tetap rendahnya produktivitas dan etos kerja nasional, belum adanya suatu pola budaya nasional yang andal, dan rentannya solidaritas dan ketahanan nasional, bukan karena belum diadakannya berbagai lembaga politik atau belum tersedianya infra struktur politik seperti partai politik dan media pers, dan juga bukan karena belum adanya lembaga-lembaga ekonomi dan berbagai lembaga kebudayaan lainnya seperti lembaga riset dan kajian, melainkan karena belum tertananmnya di dalam diri setiap warga negara nilai-nilai budaya modern. ( halaman 91 )
Mengapa ini terjadi ? Karena rancangan pendidikan kita tidak mengupayakan terinternalisasikannya nilai-nilai modern pada diri peserta didik. Pendidikan kita lebih mengutamakan hafalan-hafalan teori dan ketrampilan-ketrampilan teknik semata, seraya mengabaikan nilai-nilai hidup modern. Maka, tidak mengherankan jika anak-anak muda kita fasih lidahnya mengucapkan teori-teori yang diberikan gurunya dan menguasai ketrampilan-ketrampilan tehnik, tetapi kurang memahami bagaimana dengan itu mereka dapat berbuat untuk diri dan bangsanya.
Selain itu, kurikulum pendidikan kita juga relatif mengabaikan potensi-potensi bawaan peserta didik. Di sini, tampaknya ada kesalahan kita di dalam memaknai arti mendidik. Jika dilihat dari praktek-praktek yang terjadi di dunia pendidikan kita selama ini, sepertinya yang dinamakan mendidik adalah ‘memasukkan’ teori-teori dan ketrampilan yang disayaratkan oleh kurikulum kepada peserta didik.  Peserta didik yang tidak mampu menguasai teori dan praktek yang dipersyaratkan tersebut akan dianggap gagal dalam proses pendidikannya. Dengan praktek pendidikan yang demikian, dunia pendidikan kita berpretensi akan menghasilkan manusia-manusia yang relatif sama dan sebangun. Dalam model seperti ini, tidak memungkinkan bagi pertumbuhan potensi-petensi yang menjadi karakteristik individu masing-masing pesrta didik. Maka, akibat logisnya adalah dunia pendidikan kita tidak mampu melahirkan manusia-manusia kreatif dan inovatif. Dunia pendidikan kita hanya mampu menghasilkan manusia-manusia pembebek dan tukang.
Di dalam mendidik, Ki Hajar Dewantoro berpandangan bahwa pendidikan merupakan tuntunan bagi berkembangnya anak-anak. Mereka adalah makhluk hidup yang memiliki kodrat dan potensi tumbuh dan berkembangnya masing-masing. Tugas pendidik adalah membantu mereka untuk menumbuh-kembangkan kodrat dan potensinya masing-masing untuk mencapai derajad optimal. Pendidik tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak bagi kodrat anak-anak seperti keinginan pendidik. Pemaksaan seperti ini identik dengan penjajahan. Seperti dikemukakan di atas, penajahan bertentangan dengan kodrat dan cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantoro.
Beliau memberi analog yang mudah dimengerti untuk ini. Seorang petani tidak bisa merubah padi menjadi jagung.  Jika ia menanam padi, panennya pasti padi. Ia tidak bisa merubah kodrat tersebut. Apa yang bisa ia lakukan adalah menumbuhkan padi dengan memperbaiki tanahnya, memberinya pupuk, memelihara tanamannya, dan menghilangkan hamanya.
Tugas pendidik relatif sama dengan petani. Ia, seharusnya, hanya berperan dalam membimbing anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan, bakat dan segenap potensi anak didiknya bagi keberhasilan hidupnya di masa akan datang. Pendidik tidak bisa merubah kodrat kecerdasan, bakat dan potensi peserta didiknya. Setelah itu, pendidik juga harus membantu peserta didik menangkal pengaruh-pengaruh jahat ( hama ) yang bisa merusak dirinya, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya bisa optimal.
Di dalam pendidikan, hama-hama apa saja yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik ? Pada hemat penulis, ada dua macam ‘hama’ yang dapat menganggu proses tersebut, yakni yang berasal dari internal dan eksternal. Yang dimaksud dari internal adalah ‘hama’ yang berasal dari sifat kodrati manusia itu sendiri. Sedangkan yang dari luar adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan hidup individu bersangkutan.
Apa wujud ‘hama’ yang melekat di dalam diri manusia ? Menurut Frued, manusia itu memiliki kecenderungan mencari kesenangan dan suka bermalas-malasan. Kedua kecenderungan tersebut, jika tidak dikendalikan, akan sangat menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, baik masa sekarang mau pun masa yang akan datang. Sedangkan faktor eksternal ialah hal-hal yang bisa berpengaruh negatif bagi diri peserta didik yang berasal dari luar dirinya.
Yang perlu dipahami bahwa faktor eksternal tersebut bisa berpengaruh negatif karena ditujukan untuk ‘memuaskan’ hasrat dari kedua kecenderungan di atas. Pengaruh-pengaruh yang mendukung sifat malas dan suka bersenang-senang ini bisa dikendalikan jika sejak anak-anak telah dididik untuk memperkuat potensi rasional mereka.
Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu mengelola dua kecenderungan tersebut. Di sinilah letak dari peranan dunia pendidikan, yakni melatih peserta didik agar memiliki komampuan mengelola kecenderungan-kecenderungan itu supaya bisa mengoptimalkan potensi-potensi pribadinya masing-masing.
Dengan paradigma seperti ini, model-model yang mengukur keberhasilan peserta didik dengan patokan tertentu atau dengan membandingkan prestasi seseorang dengan rata-rata kelas tidaklah bisa dibenarkan. Model pengukuran seperti ini dapat merusak kepercayaan diri peserta didik. Selain itu, model seperti itu jelas berasumsi bahwa setiap orang ‘harus’ memiliki kemampuan yang relatif sama. Perbedaan ( di grade bawah dari rata-rata ) dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Karena itu, model ini jelas mengabaikan karakteristik individu masing-masing peserta didik.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional itu mesti meliputi dua segi. Pertama, mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan berpartisipasi bagi pembangunan bangsa. Ini dicapai dengan memberikan teori-teori dan ketrampilan tertentu, serta dengan penanaman nilai-nilai budaya modern. Kedua, pendidikan juga bertujuan mengembangkan potensi, minat dan bawaan yang dimiliki masing-masing siswa.
  1. Model Penilaian Yang Memberdayakan
Apakah dengan model pendidikan seperti yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantoro di atas tidak memberlakukan adanya evaluasi ?   Jelas bukan demikian. Evaluasi terhadap proses belajar mengajar tetap diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian hasil belajar peserta didik. Tetapi evaluasi yang dikembangkan pasti tidak sama dengan yang dilakukan oleh sebagian besar guru-guru kita saat ini.
Selama ini, yang disebut evaluasi hasil belajar itu selalu dilakukan diakhir sebuah periode pembelajaran. Pada peserta didik diberi soal-soal yang harus dijawab. Tes tersebut umumnya berupa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar segala pengetahuan yang pernah disampaikan sang guru sebelumnya. Semakin banyak yang diingat dari pengetahuan yang diberikan guru, murid dikatakan semakin pandai. Sebaliknya, jika jawaban-jawaban murid banyak yang tidak sama dengan yang pernah diterangkan oleh gurunya, yang bersangkutan diberi stigma bodoh. Bukankah arti dari penilaian yang menggunakan skala A sampai E, atau angka 1 sampai 10/100 berarti sebuah skala dari paling bodoh sampai paling pandai ?
Jika pendidikan diasumsikan sebagai bimbingan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan segala potensinya, maka model evaluasi hasil belajarnya bertentangan dengan model penilaian seperti digambarkan di atas. Evaluasi di dalam model ini adalah berupa bantuan kepada peserta didik untuk mengenali kelemahan-kelemahannya dalam proses belajarnya.
Model pembelajaran seperti ini berasumsi bahwa setiap peserta didik memiliki keinginan, harapan atau tujuan masing-masing di dalam belajarnya sesuai dengan bakat, minat dan potensinya masing-masing. Tugas guru adalah membantu peserta didiknya untuk mewujudkan tujuannya  masing-masing. Nah, di dalam mencapai tujuan ini pasti masing-masing murid akan menemui masalah-masalah. Di sinilah peran evaluasi belajar. Guru memberi feedback kepada masing-masing murid tentang kelemahan-kelemahan muridnya dan membantu mereka mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Dengan demikian, evaluasi belajar dilakukan selama proses belajar muridnya. Dan, dari uraian tersebut juga jelas bahwa yang paling berkompeten melakukan evaluasi belajar bagi murid-murid hanyalah gurunya, karena merekalah yang paling tahu potensi-potensi murid. Menteri pendidikan tidak memiliki hak untuk menilai dan menentukan kelulusan murid sebagaimana sekarang melalui Unas.
  1. Ujian Negara
Dengan paradigma pendidikan seperti digambarkan di atas, apakah ujian negara atau yang saat ini dikenal dengan Unas tidak diperlukan ? Tentu ujian negara tetap diperlukan. Tetapi eksistensi Unas ini bukanlah untuk menentukan kelulusan siswa dari jenjang pendidikan tertentu. Karena, yang paling mengetahui keadaan siswa adalah guru. Jadi, yang paling berhak menentukan kelulusan adalah guru.
Sedangkan hasil Unas digunakan untuk melakukan pemetaan sekolah-sekolah. Dari hasil Unas ini, akan bisa ditentukan sekolah-sekolah mana yang dikategorikan di bawah standard. Setelah dipetakan, lalu dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang berada di bawah standard tersebut. Perbaikan yang dimaksud bisa meliputi kualitas gurunya, para pengelolanya, sarana prasananya, manajemennya dan lain-lain.
Selain itu, hasil Unas juga bisa sebagai seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, jika Unas digunakan untuk tujuan ini, maka harus dibuatkan sebuah sistem yang aman dari berbagai kecurangan dalam pelaksanaan Unas seperti saat ini. Baik kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, sekolah maupun pihak-pihak lain. Selain itu, dalam pembuatan soal-soal yang di-Unas-kan harus melibatkan pihak-pihak dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi, janjang pendidikian yang akan dimasuki oleh siswa-siswa tersebut setelah lulus Unas.
  1. Bahasa Pengantar
Last but not least, bahasa pengantar yang digunakan di seluruh jenjang pendidikan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa internasional adalah wajar jika semua siswa harus menguasai bahasa Inggris, baik pasif maupun aktif. Selain itu, bahasa Ingrris terbukti telah mampu sebagai sarana bahasa Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, bahasa Inggris sudah bukan lagi sebagai salah satu mata pelajaran, namun harus ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah kita.
Untuk tahap awal, tentu digunakan sebagai bahsa pengantar untuk beberapa mata pelajaran saja. Terutama pelajaran-pelajaran sosial. Lalu, sedikit demi sedikit, pelajaran lain menyusul menggunakan bahasa internasional ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!