Dalam
sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia, eksistensi pendidikan telah
menunjukkan perannya yang amat penting. Sejarah juga telah mencatat bahwa
bangsa-bangsa yang memiliki tradisi pendidikan yang baik telah mengalami
kemajuan peradaban dan kebudayaan yang hebat. Di akhir perang dunia 2, setelah
Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh tentara sekutu, Jepang nyaris lumpuh
total dalam seluruh aspek kehidupannya. Saat itu, Kaisar menyatakan bahwa tiada
lagi yang tersisa selain tanah dan air.
Akal
sehat mengatakan dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Jepang untuk bangkit
kembali. Namun, perkiraan akal sehat itu dijungkirbalikkan oleh Jepang. Dalam
waktu yang relatif singkat, Jepang mampu bangkit, bahkan lebih powerfull
daripada sebelum dibom atom, hingga mampu menyaingi Amerika. Kebangkitan Jepang
yang spektakuler tersebut menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, ‘Apa
rahasia kebangkitan Jepang itu ?’ .
Klik disini untuk sedot... atau
Konon,
setelah Jepang menyerah kalah, kaisar Jepang mengumpulkan pejabat-pejabat
pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan adalah
"Berapa guru yang masih hidup ? Berapa
sekolah yang masih berdiri?"
Apa
artinya itu ?
Bagi
Sang Kaisar, tidak masalah Jepang dihancurkan, asalkan sistem pendidikannya
masih bisa dijalankan. Dan Jepang telah membuktikan, kemajuan peradaban dan
kebudayaannya disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
pendidikan nasionalnya.
Kejadian
serupa juga terjadi pada bangsa Amerika. Pada 4 Oktober 1957, Uni Sovyet meluncurkan
Spotnic, pesawat luar angkasanya yang pertama. Kontan saja peristiwa itu
mengguncang seluruh negeri Amerika. Amerika yang menjadi pemenang dalam PD 2
justru kedahuluan Uni Sovyet dalam pengembangan teknologi luar angkasa.
Kejadian ‘memalukan’ ini ternyata telah membangkitkan semangat bangsa Amerika
untuk mengejar ketertinggalannya dari Uni Sovyet, musuh bebuyutannya kala itu.
Alhasil,
pada tanggal 14 Juli 1969, bangsa Amerika telah berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Artinya, hanya dalam waktu
12 tahun, mereka mampu mengungguli teknologi angkasa luas Uni Sovyet. Sebuah
pencapaian yang maha dahsyat. Sekali
lagi, pertanyaannya, apa rahasia kedahsyatan ini ?
Ketika bangsanya merasa dipermalukan oleh Uni Sovyet,
presiden Amerika membentuk tim khusus untuk menanggapi kejadian itu. Terhadap
tim ini, presiden tidak menginstruksikan menggali rahasia keberhasilan Uni
Sovyet menggungguli mereka, tapi member tugas tim untuk mengkaji ulang
kurikulum pendidikan mereka, mulai dari kurikulum tingkat dasar sampai
perguruan tinggi.
Dalam situasi perang dingin, tugas semacam itu tidak
masuk akal bagi kebanyakan politisi Amerika saat itu. Sebuah tugas yang akan
sia-sia, pikir mereka. Namun, tim tetap menjalankan tugasnya sesuai instruksi
presiden. Akhirnya,
dengan bekerja keras, tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang
menyatakan bahwa kurikulum pendidikan Amerika dari semua jenjang pendidikan
sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Berikutnya, mereka mulai melakukan
pembaharuan pendidikan dalam segala dimensinya. Mulai dari kurikulum, jenis
mata pelajaran, guru, system pendidikan guru, fasilitas, sampai dengan sistem
evaluasi pendidikannya. Upaya keras itu pun membuahkan hasil yang amat
memuaskan. Dalam kurun 12 tahun, cita-cita mereka bisa tergapai, mengungguli
Uni Sovyet.
Kedua ilustrasi di atas member gambaran kepada kita
bahwa pendidikan merupakan faktor determinan bagi kemajuan sebuah bangsa. Lalu,
bagaimana dengan bangsa kita ? Apakah dunia pendidikan kita telah memainkan
peran seperti itu ?
Apa yang telah dihasilkan oleh Pendidikan Nasional
kita ?
Jika boleh jujur, Pendidikan Nasional kita hanya mampu
menghasilkan murid-murid yang fasih menirukan teori-teori yang telah diajarkan
oleh gurunya; murid-murid yang tidak pernah mengerti mengapa mereka harus
mempelajari pelajaran ini-itu di sekolah; murid-murid yang hanya memikirkan
bagaimana mengerjakan soal-soal unas dengan benar; dan manusia-manusia yang
hanya bisa menggenggam selembar kertas bernama ijazah tanpa mengerti apa yang
bisa dilakukan terhadap diri dan masyarakat mereka.
Di tingkat pendidikan tinggi, keadaannya relatif tak
jauh berbeda. Sarjana-sarjana kita hanya pandai menirukan teori-teori asing
alias menjadi pembebek, tanpa berani ( bisa ? ) melakukan inovasi atas teori-teori
tersebut. Bahkan,tragisnya, para sarjana kita, akan ramai-ramai mengeroyok jika
ada sejawatnya yang berani coba-coba mengemukakan teori penemuannya. Maka tak
mengherankan, ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, kita tidak
mendengar hasil studi sarjana ekonomi kita membuahkan inovasi bagi penyelesaian
krisis ekonomi masyarakat; meski pun program studi pertanian telah tersebar ke
se antero nusantara, tapi di negeri sendiri, buah-buahan kita ‘dibantai’ oleh
buah-buahan dari Thailand, dan sarjana pertanian kita tak mampu berbuat
apa-apa; karya-karya tulis sarjana-sarjana kita masih jarang,
yang banyak memenuhi bursa-bursa buku adalah karya-karya terjemahan; dan masih
banyak fakta memilukan karena pendidikan kita yang tidak memadai.
Fenomena di atas, mau tidak mau, harus membuat kita
melakukan kajian ulang mulai dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan,
kurikulum pendidikan sampai dengan proses belajar-mengajar di kelas-kelas.
Mengapa harus dilakukan kajian secara holistik, karena kesalahan-kesalahannya
terjadi di hampir segala lini.
- Pendidikan Yang Merata
Di hampir semua bangsa, tanggung-jawab mencerdasarkan
bangsa terutama terletak di pundak negara. Artinya, pemerintah
bertanggung-jawab menyediakan pendidikan bagi seluruh warganya. Semua warga
negara usia sekolah punya hak mutlak untuk memperoleh pendidikan formal sampai
pada jenjang tertentu sesuai dengan kemampuan pemerintah.
Sejak lebih kurang dua dekade terakhir, pemerintah
Indonesia telah menetapkan bahwa jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama adalah termasuk pendidikan dasar. Dan juga telah diputuskan bahwa
setiap warga negara usia sekolah berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar
secara gratis. Dengan demikian, baik warga negara yang miskin maupun yang kaya,
memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar secara adil. Adil yang
dimaksud di sini, mestinya adil secara kuantitas dan kualitas.
Pertanyaan kita sekarang adalah sudahkah keadilan yang
dimaksud sudah terjadi ?
Dari sudut kuantitas relatif sudah terjadi. Pada tahun 2009, sekurang-kurangnya 95% anak usia 7-15
tahun telah memperoleh kesempatan untuk belajar sampai dengan sekolah menengah
pertama (SMP) atau yang sederajat. Namun perlu dicatat bahwa angka 95% di atas
bukanlah semata-mata karena keberhasilan pemerintah. Peran masyarakat ternyata
juga cukup tinggi, terutama dalam hal pendanaan. Menurut Ki Supriyoko, biaya
satuan pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orangtua yang anaknya bersekolah
di SD negeri mencapai angka Rp 5,967 juta, di SD swasta Rp 7,506 juta.
Sementara yang anaknya bersekolah di SMP negeri mencapai angka Rp 7,528 juta
dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta.
Dari keterangan di atas, ternyata, meski pemerintah telah
menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20%, bukan berarti masyarakat
benar-benar gratis menikmati pendidikan dasar. Maka tak heran jika masyarakat
miskin masih kesulitan memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu.
Sepengetahuan penulis, hanyalah sekolah-sekolah ( maaf ) swasta yang relatif
tidak bermutu yang ‘berani’ menggratiskan biaya pendidikan pada murid-muridnya.
Dari mana sekolah-sekolah ini membiayai operasional sekolah dan gaji
guru-gurunya? Dari dana BOS !
Dengan begitu, ke depan, pemerintah dituntut lebih
sungguh-sungguh dalam mewujudkan amanat UU Sisdiknas pasal 34. Sebagaimana kita
ketahui bahwa bunyi pasal 34 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Setiap warga
negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2)
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3)
Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan besaran dana pendidikan
nasional sebesar 20% dari total APBN. Disetujuinya
anggaran pendidikan nasional sebesar 20% ini merupakan sebuah perjuangan yang
panjang karena harus berhadapan dengan ego masing-masing departemen. Namun,
penetapan anggaran sebesar 20% tersebut bukan berarti masalah-masalah
pendidikan, meski pun yang berkaitan dengan jumlah anggaran, bisa dianggap
selesai. Jika anggaran sebesar itu tidak bisa dimanfaatkan dengan tepat,
efektif, efisien dan bebas penyimpangan, maka peningkatan anggaran pendidikan ini
akan menjadi sia-sia.
Yang pertama, anggaran sebesar itu, pemanfaatannya
harus melalui perencanaan yang matang. Artinya, pemanfaatannya harus
mempertimbangkan unsur keadilan. Peningkatan anggaran pendidikan nasional ini
bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik dan pengelola
pendidikan saja, tetapi juga untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Boleh saja pemerintah menaikkan pendapatan para pendidik
dan pengelola pendidikan, tetapi peningkatan kesejahteraan tersebut harus
diimbangi dengan peningkatan profesionalisme mereka. Karena itu, mekanismenya
perlu dirancang sebaik mungkin sebelum peningkatan kesejahteraan mereka
dilakukan. Jangan sampai seperti yang terjadi pada proses sertifikasi guru
selama ini. Karena proses sertifikasi yang dilakukan tidak memadai, maka
pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru kurang mendorong peningkatan
profesionalisme mereka. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan pendidik
tidak berimplikasi bagi kesejahteraan masyarakat secara umum.
Tuntutan keadilan berikutnya adalah berkaitan dengan
pemberian pelayanan pendidikan bagi masyarakat secara umum. Dengan mata
telanjang, saat ini kita bisa melihat ketimpangan-ketimpangan dalam penyaluran
dana kepada sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Sekolah-sekolah diperkotaan,
terutama yang dipandang lebih maju, sangat sering mendapat gelontoran dana dari
pemerintah. Sementara, sebagian besar sekolah yang berada di pedesaan atau
sekolah yang dianggap kurang berprestasi jarang memperoleh dana dari
pemerintah. Akibatnya, ketimpangan sarana dan prasarana yang dimiliki
sekolah-sekolah yang dipandang maju dengan sekolah-sekolah lainnya semakin
lebar. Karena, salah satu determinan keunggulan lembaga pendidikan adalah
besarnya anggaran pengembangan yang dimiliki.
Dan yang lebih memilukan, ‘sekolah-sekolah maju’ ini
biasanya mematok harga yang cukup mahal bagi siswa-siswanya. Pasalnya, sekolah
dengan fasilitas relatif ‘glamour’ ini pasti menjadi rebutan masyarakat. Maka,
berapa pun tarif yang dikenakan kepada siswa, sekolah-sekolah demikian pasti
menjadi rebutan.
Siswa-siswa yang ingin masuk ke sana harus melalui
arena persaingan yang sangat ketat. Dan parameter untuk diterima di
sekolah-sekolah tersebut adalah tingkat status sosial orangtua siswa. Dengan
parameter demikian, anaknya orang miskin menjadi ‘diharamkan menginjakkan kaki’
di sekolah-sekolah favorit tersebut. Dengan begitu, pemanfaatan anggaran
pendidikan untuk pengembangan sarana pendidikan telah menjadi sarana yang
mempertajam segregasi sosial. Padahal, seharusnya anggaran tersebut menjadi
sarana untuk menciptakan keadilan di tengah masyarakat.
Dengan fenomena di atas, harus dibuat aturan yang
jelas untuk menyalurkan anggaran pendidikan tersebut. Anggaran pendidikan
nasional seharusnya berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang adil
dan merata bagi seluruh masyarakat. Untuk itu, maka pertama kali yang harus
dilakukan adalah menetapkan standard bagi sarana dan prasarana lembaga
pendidikan yang berlaku secara nasional. Kemudian, dengan parameter tersebut,
dilakukan pemetaan bagi sekolah-sekolah yang ada. Dari sini akan ditemukan
sekolah-sekolah yang berada di bawah standard. Tahap berikutnya adalah
merencanakan pembiayaan bagi peningkatan kualitas sekolah-sekolah di bawah
standard ini. Peningkatan kualitas ini tentu bukan saja dalam bidang sarana,
tetapi juga meliputi manajemen, SDM, serta layanan penunjang pendidikan
lainnya. Dengan begitu, disparitas antara sekolah maju dan sekolah terbelakang
bisa direduksi. Dan akhirnya, seluruh warga masyarakat, baik kaya mau pun
miskin, akan dapat memperoleh pelayanan pendidikan secara relatif adil.
Yang kedua, penggunaan anggaran pendidikan harus
disertai mekanisme kontrol yang memadai. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa
depdiknas merupakan salah satu institusi tempat tumbuh suburnya tindakan
korupsi.
Sebagai contoh,
berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah
menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”.
Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota
mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan
perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester
I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi
diselewengkan.( AkhmadSudrajat
: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/23/inilah-korupsi-di-dunia-pendidikan-kita/
)
Untuk mereduksi praktek-praktek korupsi di dunia
pendidikan, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan di Depdiknas. Jika perlu, laporan-laporan
2.
Memaksimalkan
peranan Komite Sekolah. Barangkali kita semua sudah mahfum bahwa peranan Komite
Sekolah saat ini tak ubahnya dengan peranan BP3 jaman sebelumnya. Peranannya
sebatas tukang stempel hasrat pihak sekolah untuk mengeruk dana masyarakat
untuk kepentingan yang kurang bisa dipertanggung-jawabkan. Maka, perlu dibuat
regulasi untuk lebih memberdayakan peran komite sekolah dalam mengontrol
penggunaan dana oleh manajemen sekolah.
3.
Pemerintah harus
menetapkan angka maksimal yang boleh ditarik dari orangtua siswa oleh sekolah.
Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah perilaku ugal-ugalan pihak sekolah
dalam mengeruk dana masyarakat ( orantua siswa ).
4.
Meningkatkan
penindakan terhadap kasus korupsi di dunia pendidikan. Peningkatan seperti ini
perlu dilakukan mengingat potensi kerugian negara akibat korupsi di dunia
pendidikan cukup tinggi, apalagi jika diingat bahwa saat ini anggaran
pendidikan saat ini cukup tinggi. Jika perlu, dibentuk komisi khusus ( semacam
KPK ) yang dikhususkan menangani korupsi di dunia pendidikan. Komisi ini
memiliki kewenangan menindak korupsi mulai dari tingkat kementerian hingga
tingkat sekolah.
Jika saja anggaran pendidikan sebesar
20% digunakan dengan perencanaan yang matang, dengan memperhatikan azas
pemerataan dan keadilan, dan dengan mekanisme kontrol yang memadai, maka
cita-cita memberikan pendidikan dasar gratis bagi semua bukan lagi menjadi
mimpi. Bahkan, bisa jadi untuk jenjang menengah atas juga bisa digratiskan. Hal
ini perlu menjadi pertimbangan serius, mengingat, untuk bisa bekerja dengan
penghasilan relatif layak, seseorang
harus tamat jenjang menengah atas.
- Tujuan Pendidikan Nasional Yang Memberdayakan
Para ahli berpendapat bahwa saat ini bangsa kita
mengalami krisis multidimensional. Artinya, kita sedang mengalami krisis di
bidang ekonomi, politik, ideologi, budaya dan lainnya. Mengapa hal ini terjadi
?
Prof. Dr. Soedijarto, MA dalam bukunya ‘Landasan
dan Arah Pendidikan Nasional’
memandang bahwa hal ini ( krisis multidimensional ) terjadi tidak lain
karena pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna sebagai transformasi
budaya menuju mantapnya kehidupan negara bangsa Indonesia.
Belum mantapnya sistem politik, belum mapannya sistem
ekonomi nasional, tetap rendahnya produktivitas dan etos kerja nasional, belum
adanya suatu pola budaya nasional yang andal, dan rentannya solidaritas dan
ketahanan nasional, bukan karena belum diadakannya berbagai lembaga politik
atau belum tersedianya infra struktur politik seperti partai politik dan media
pers, dan juga bukan karena belum adanya lembaga-lembaga ekonomi dan berbagai
lembaga kebudayaan lainnya seperti lembaga riset dan kajian, melainkan karena
belum tertananmnya di dalam diri setiap warga negara nilai-nilai budaya modern.
( halaman 91 )
Mengapa ini terjadi ? Karena rancangan pendidikan kita
tidak mengupayakan terinternalisasikannya nilai-nilai modern pada diri peserta
didik. Pendidikan kita lebih mengutamakan hafalan-hafalan teori dan
ketrampilan-ketrampilan teknik semata, seraya mengabaikan nilai-nilai hidup
modern. Maka, tidak mengherankan jika anak-anak muda kita fasih lidahnya
mengucapkan teori-teori yang diberikan gurunya dan menguasai
ketrampilan-ketrampilan tehnik, tetapi kurang memahami bagaimana dengan itu
mereka dapat berbuat untuk diri dan bangsanya.
Selain itu, kurikulum pendidikan kita juga relatif
mengabaikan potensi-potensi bawaan peserta didik. Di sini, tampaknya ada
kesalahan kita di dalam memaknai arti mendidik. Jika dilihat dari
praktek-praktek yang terjadi di dunia pendidikan kita selama ini, sepertinya
yang dinamakan mendidik adalah ‘memasukkan’ teori-teori dan ketrampilan yang
disayaratkan oleh kurikulum kepada peserta didik. Peserta didik yang tidak mampu menguasai
teori dan praktek yang dipersyaratkan tersebut akan dianggap gagal dalam proses
pendidikannya. Dengan praktek pendidikan yang demikian, dunia pendidikan kita
berpretensi akan menghasilkan manusia-manusia yang relatif sama dan sebangun.
Dalam model seperti ini, tidak memungkinkan bagi pertumbuhan potensi-petensi
yang menjadi karakteristik individu masing-masing pesrta didik. Maka, akibat
logisnya adalah dunia pendidikan kita tidak mampu melahirkan manusia-manusia
kreatif dan inovatif. Dunia pendidikan kita hanya mampu menghasilkan
manusia-manusia pembebek dan tukang.
Di dalam mendidik, Ki Hajar Dewantoro berpandangan
bahwa pendidikan merupakan tuntunan bagi berkembangnya anak-anak. Mereka adalah
makhluk hidup yang memiliki kodrat dan potensi tumbuh dan berkembangnya
masing-masing. Tugas pendidik adalah membantu mereka untuk menumbuh-kembangkan
kodrat dan potensinya masing-masing untuk mencapai derajad optimal. Pendidik
tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak bagi kodrat anak-anak seperti
keinginan pendidik. Pemaksaan seperti ini identik dengan penjajahan. Seperti
dikemukakan di atas, penajahan bertentangan dengan kodrat dan cita-cita
pendidikan Ki Hajar Dewantoro.
Beliau memberi analog yang mudah dimengerti untuk ini.
Seorang petani tidak bisa merubah padi menjadi jagung. Jika ia menanam padi, panennya pasti padi. Ia
tidak bisa merubah kodrat tersebut. Apa yang bisa ia lakukan adalah menumbuhkan
padi dengan memperbaiki tanahnya, memberinya pupuk, memelihara tanamannya, dan
menghilangkan hamanya.
Tugas pendidik relatif sama dengan petani. Ia,
seharusnya, hanya berperan dalam membimbing anak-anak untuk mengembangkan
kecerdasan, bakat dan segenap potensi anak didiknya bagi keberhasilan hidupnya
di masa akan datang. Pendidik tidak bisa merubah kodrat kecerdasan, bakat dan
potensi peserta didiknya. Setelah itu, pendidik juga harus membantu peserta
didik menangkal pengaruh-pengaruh jahat ( hama ) yang bisa merusak dirinya,
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya bisa optimal.
Di dalam pendidikan, hama-hama apa saja yang dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik ? Pada hemat
penulis, ada dua macam ‘hama’ yang dapat menganggu proses tersebut, yakni yang
berasal dari internal dan eksternal. Yang dimaksud dari internal adalah ‘hama’
yang berasal dari sifat kodrati manusia itu sendiri. Sedangkan yang dari luar
adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan hidup individu bersangkutan.
Apa wujud ‘hama’ yang melekat di dalam diri manusia ?
Menurut Frued, manusia itu memiliki kecenderungan mencari kesenangan dan suka
bermalas-malasan. Kedua kecenderungan tersebut, jika tidak dikendalikan, akan
sangat menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, baik masa
sekarang mau pun masa yang akan datang. Sedangkan faktor eksternal ialah
hal-hal yang bisa berpengaruh negatif bagi diri peserta didik yang berasal dari
luar dirinya.
Yang perlu dipahami bahwa faktor eksternal tersebut
bisa berpengaruh negatif karena ditujukan untuk ‘memuaskan’ hasrat dari kedua
kecenderungan di atas. Pengaruh-pengaruh yang mendukung sifat malas dan suka
bersenang-senang ini bisa dikendalikan jika sejak anak-anak telah dididik untuk
memperkuat potensi rasional mereka.
Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu mengelola
dua kecenderungan tersebut. Di sinilah letak dari peranan dunia pendidikan,
yakni melatih peserta didik agar memiliki komampuan mengelola
kecenderungan-kecenderungan itu supaya bisa mengoptimalkan potensi-potensi
pribadinya masing-masing.
Dengan paradigma seperti ini, model-model yang
mengukur keberhasilan peserta didik dengan patokan tertentu atau dengan
membandingkan prestasi seseorang dengan rata-rata kelas tidaklah bisa
dibenarkan. Model pengukuran seperti ini dapat merusak kepercayaan diri peserta
didik. Selain itu, model seperti itu jelas berasumsi bahwa setiap orang ‘harus’
memiliki kemampuan yang relatif sama. Perbedaan ( di grade bawah dari rata-rata
) dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Karena itu, model ini jelas mengabaikan
karakteristik individu masing-masing peserta didik.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan nasional itu mesti meliputi dua segi. Pertama, mempersiapkan peserta
didik agar memiliki kemampuan berpartisipasi bagi pembangunan bangsa. Ini
dicapai dengan memberikan teori-teori dan ketrampilan tertentu, serta dengan
penanaman nilai-nilai budaya modern. Kedua, pendidikan juga bertujuan
mengembangkan potensi, minat dan bawaan yang dimiliki masing-masing siswa.
- Model Penilaian Yang Memberdayakan
Apakah dengan model pendidikan seperti yang digagas
oleh Ki Hadjar Dewantoro di atas tidak memberlakukan adanya evaluasi ? Jelas
bukan demikian. Evaluasi terhadap proses belajar mengajar tetap diperlukan
untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian hasil belajar peserta
didik. Tetapi evaluasi yang dikembangkan pasti tidak sama dengan yang dilakukan
oleh sebagian besar guru-guru kita saat ini.
Selama ini, yang disebut evaluasi hasil belajar itu
selalu dilakukan diakhir sebuah periode pembelajaran. Pada peserta didik diberi
soal-soal yang harus dijawab. Tes tersebut umumnya berupa menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar segala pengetahuan yang pernah disampaikan sang
guru sebelumnya. Semakin banyak yang diingat dari pengetahuan yang diberikan
guru, murid dikatakan semakin pandai. Sebaliknya, jika jawaban-jawaban murid
banyak yang tidak sama dengan yang pernah diterangkan oleh gurunya, yang
bersangkutan diberi stigma bodoh. Bukankah arti dari penilaian yang menggunakan
skala A sampai E, atau angka 1 sampai 10/100 berarti sebuah skala dari paling
bodoh sampai paling pandai ?
Jika pendidikan diasumsikan sebagai bimbingan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan segala potensinya, maka
model evaluasi hasil belajarnya bertentangan dengan model penilaian seperti
digambarkan di atas. Evaluasi di dalam model ini adalah berupa bantuan kepada
peserta didik untuk mengenali kelemahan-kelemahannya dalam proses belajarnya.
Model pembelajaran seperti ini berasumsi bahwa setiap
peserta didik memiliki keinginan, harapan atau tujuan masing-masing di dalam
belajarnya sesuai dengan bakat, minat dan potensinya masing-masing. Tugas guru
adalah membantu peserta didiknya untuk mewujudkan tujuannya masing-masing. Nah, di dalam mencapai tujuan
ini pasti masing-masing murid akan menemui masalah-masalah. Di sinilah peran
evaluasi belajar. Guru memberi feedback kepada masing-masing murid tentang
kelemahan-kelemahan muridnya dan membantu mereka mengatasi kelemahan-kelemahan
tersebut. Dengan demikian, evaluasi belajar dilakukan selama proses belajar
muridnya. Dan, dari uraian tersebut juga jelas bahwa yang paling berkompeten
melakukan evaluasi belajar bagi murid-murid hanyalah gurunya, karena merekalah
yang paling tahu potensi-potensi murid. Menteri pendidikan tidak memiliki hak
untuk menilai dan menentukan kelulusan murid sebagaimana sekarang melalui Unas.
- Ujian Negara
Dengan paradigma pendidikan seperti digambarkan di
atas, apakah ujian negara atau yang saat ini dikenal dengan Unas tidak
diperlukan ? Tentu ujian negara tetap diperlukan. Tetapi eksistensi Unas ini
bukanlah untuk menentukan kelulusan siswa dari jenjang pendidikan tertentu.
Karena, yang paling mengetahui keadaan siswa adalah guru. Jadi, yang paling
berhak menentukan kelulusan adalah guru.
Sedangkan hasil Unas digunakan untuk melakukan
pemetaan sekolah-sekolah. Dari hasil Unas ini, akan bisa ditentukan
sekolah-sekolah mana yang dikategorikan di bawah standard. Setelah dipetakan,
lalu dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas
sekolah-sekolah yang berada di bawah standard tersebut. Perbaikan yang dimaksud
bisa meliputi kualitas gurunya, para pengelolanya, sarana prasananya,
manajemennya dan lain-lain.
Selain itu, hasil Unas juga bisa sebagai seleksi masuk
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, jika Unas digunakan untuk
tujuan ini, maka harus dibuatkan sebuah sistem yang aman dari berbagai
kecurangan dalam pelaksanaan Unas seperti saat ini. Baik kecurangan yang dilakukan
oleh siswa, guru, sekolah maupun pihak-pihak lain. Selain itu, dalam pembuatan
soal-soal yang di-Unas-kan harus melibatkan pihak-pihak dari jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, janjang pendidikian yang akan dimasuki oleh siswa-siswa
tersebut setelah lulus Unas.
- Bahasa Pengantar
Last but not least, bahasa pengantar yang digunakan di
seluruh jenjang pendidikan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan
Inggris. Sebagai bahasa internasional adalah wajar jika semua siswa harus
menguasai bahasa Inggris, baik pasif maupun aktif. Selain itu, bahasa Ingrris
terbukti telah mampu sebagai sarana bahasa Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, bahasa Inggris sudah bukan lagi sebagai salah satu mata
pelajaran, namun harus ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah
kita.
Untuk tahap awal, tentu digunakan sebagai bahsa
pengantar untuk beberapa mata pelajaran saja. Terutama pelajaran-pelajaran
sosial. Lalu, sedikit demi sedikit, pelajaran lain menyusul menggunakan bahasa
internasional ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!