Tantangan Guru di Era
Global dan Otonomi Daerah
Memasuki
abad ke 21 kita menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental
dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global
tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC,
NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan
usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat
persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli
(monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian
pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product
oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari
proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).
Kemajuan
ekonomi diberbagai negara, sangat terkait dengan kualitas Sumber Daya Manusia.
Contohnya Singapura dan Jepang. Walaupun sumber daya alam yang dimilikinya
terbatas, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya unggul, kedua negara
tersebut menjadi pemimpin ekonomi di kawasan Asia. Untuk itu perlu mengantisipasi
keadaan ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai bidang dengan
pengembangan Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan,
menurut UNDP. Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing
ke –46 yang paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia
ke-27. Phillipina ke –32, dan Tailand ke –34, dan termasuk negara yang paling
korup didunia.
Dalam
upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman
beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan
meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah
pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tengan kerja
berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain
yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah
di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak
berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah
dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono
dan Boediono (Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja
Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen
berpendidikan dasar, 11 persen berpendidiian menengah dan 2 persen
berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea,
diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario
pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi
8 persen pada tahun 2019.
Di era
otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM
adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based
management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan
sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang
berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di
mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah
sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma
belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau
learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada
pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu
pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education
System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja
membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan
akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas
dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi
manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang
mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang
mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat
(Depdiknas, 2000).
Menjadi Guru Yang
Profesional
Apa yang
diharapkan dari seorang guru untuk menghadapi tantangan era global, era otonomi
daerah dalam merealisasikan program pemerintah dalam bidang pendidikan?.
jawabannya hanya sederhana : ” Menjadi guru yang baik, atau tidak sama
sekali”. Tidak ada diantara kita yang dipaksa menjadi guru yang ada hanya
terpaksa menjadi guru dan secara sukarela menjadi guru. Apapun itu yang
penting untuk menjadi guru maka tugas mulia ini mesti dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab dan pengabdian. Guru yang baik diharapkan untuk menjadikan
dirinya secara profesional, dan untuk mendapatkan guru yang profesional
merupakan suatu keharusan.
Moh Uzer
Usman (2000) mengemukakan tiga tugas guru sebagai profesi meliputi
mendidik, mengajar dan melatih. (1) mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup, (2) mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, (3) melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan pada siswa. DG Amstrong mengemukakan ada
lima tugas dan tanggung jawab pengajar, yakni tanggung jawab dalam (1) pengajaran,
(2) bimbingan belajar, (3) pengembangan kurikulum, (4) pengembangan profesinya,
dan (5) pembinaan kerjasama dengan masyarakat.
Untuk
dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut
memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan
keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru.
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar
tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Glasser
dalam Nana Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga
pengajar, yakni (a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b)
menguasai bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang
dirinya sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan
mengajar.
Upaya Meningkatkan
Citra Guru
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru mempunyai peranan penting
dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana,
kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci
keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar
mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya.
Berdasarkan
hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam
prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%),
dan sarana fisik (19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut
citra/mutu guru dan kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000)
Citra/mutu
guru saat ini sering didengung-dengungkan dan dibicarakan orang baik yang pro
dan kontra dan semakin lama citra guru semakin terpuruk. Masyarakat sering
mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya
memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya
sebagian orang tua mengikut sertakan putra/putrinya untuk kursus, privat atau
bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas
lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai
kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja,
hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Rendahnya
mutu guru menurut J. Sudarminta (2000) amtara lain tampak dari gejala-gejala
berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian
antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang
diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di
hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang
sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak
betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian
berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian
mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan
dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik;
(7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk
LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk
Universitas.
Sementara
itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap
profesi guru disebabkan oleh faktor berikut : (1) adanya pandangan sebagian
masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2)
kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat
seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru
yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya
itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk
kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot.
Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme
guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di
bawah standar.
Oleh
karena itu usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang
berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan : menguasai
tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi
dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next
Century School (NCS) sebagai berikut : (i) guru sebagai pelatih yang
mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu
lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk
meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai
konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai
masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau
idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan
siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan
singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak
dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat
rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif
yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi,
2000). Dengan demikian proses penuingkatan mutu guru ditekankan pada
proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri.
Sejalan
dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya
dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang
penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru
terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di
sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru
kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru
tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh
oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak
seberapa besarnya.
Penutup
Guru
yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan dan kompetensinya namun
juga dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi tugas dan peranannya, dan selalu
meningkatkan kompetensinya agar tercapai kondisi proses belajar mengajar yang
efektif dan tercapai tujuan belajar secara optimal. Guru yang profesional
selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya.
Sebagai
guru yang baik dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah maka seharusnya
tidak usah berkeluh kesah, dan menurunkan semangat kerja. Sebagai orang-orang
yang berpendidikan seharusnya guru dapat mengatasi persoalan ekonomi baik
secara individual maupun secara kooperatif. Guru membekali dirinya dengan
kemampuan untuk berwirausaha. Kita syah-syah saja mencari penghasilan tambahan,
sebagaimana dokter yang penghasilannya lebih besar dari guru, masih ngobyek
untuk menambahi penghasilannya, asal tidak meninggalkan kewajiban
utamanya sebagai pendidik. Guru tidak boleh mengorbankan pelajar karena sedang
ada bisnis. Kewajiban utama tetap dikedepankan, baru sisa waktu (waktu luang)
untuk kerja sambilan. Sebab jika guru terlalu berorientasi pada upaya
penumpukan materi (kekayaan) dikhawatirkan akan melalaikan fungsi guru sebagai
pendidik.
Kekhawatiran
akan fungsi guru bukan lagi pendidik telah telah terbukti, akhir-akhir
ini jumlah tenaga guru semakin sedikit, sebaliknya jumlah pengajar terus
membengkak. Menurut Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan
rektor Universitas Surabaya (Unesa) di Surabaya mengatakan :”Indonesia saat ini
minus tenaga guru, yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan
setiap jam minta bayaran”. Guru, menurut Malik Fadjar, lebih dari sekedar
pengajar. Guru merupakan pusat teladan dan panutan. Guru punya pengaruh
terhadap siswanya (Republika, 2002). Jika demikian apakah ada jaminan jika kesejahteraan
guru ditingkatkan maka mutu guru menjadi baik ?.
Secara
sendiri-sendiri guru diharapkan mempunyai pola hidup sederhana dan menggali
bakat dan kemampuan yang bisa digunakan membuka usaha kecil/ usaha sampingan
seperti membuka warung di rumah, menulis buku, memberikan les/kursus, membuka
reparasi elektronik, membuka wartel/warnet dan lain sebagainya. Secara
bersama-sama guru dapat : (1) mengembangkan koperasi guru dan karyawan.
Koperasi saat ini dan sampai kapanpun masih relevan membantu perekonomian
masyarakat kecil termasuk guru; (2) mengembangkan unit produksi (unit usaha )
sekolah sebagaimana dikembangkan di SMK. Banyak usaha yang bisa digarap dan
diusahakan dengan menggunakan fasilitas sekolah seoptimal mungkin. Asal
dikelola dengan baik dan profesional, maka keuntungan unit produksi (unit
usaha) sekolah akan membantu perekonomian guru; (3) meningkatkan peran
masyarakat dan pemerintah kota/daerah dalam pembiayaan pendidikan baik melalui
Komite Sekolah, alumni, dunia usaha dan pihak lain yang perduli dengan
pendidikan dimana sebagian alokasi dana diperuntukkan bagi kesejahteraan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Conny R.
Semiawan, Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang
Abad
XXI, Balai
Pustaka, 1988
Falah
Yunus, Guru Kunci Utama Keberhasilan Pendidikan, dalam Harian
Manuntung, Sabtu 16/10/1996
Indra
Djati Sidi, Pendidikan dan Peran Guru Dalam Era Globalisasi, dalam
majalah Komunika No. 25/tahun VIII/2000
Moch.
Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya,
Bandung , 2000
Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya,
Bandung
Nana
Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, Sinar Baru Algesindo, Jakarta, 1988
Republika,
Sabtu 4 Mei 2002, Mendiknas Melantik Rektor Unesa
Sardiman
AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers, Jakarta,
1994
Sudarminto
J, Citra Guru, dalam Pendidikan
Kegelisahan Sepanjang jaman, Sindunata (editor),
Kanisius, 2001
Syaiful
Bakri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional,
Jakarta, 1994
Teguh
Budiharso, Komentar Mengenai Proyek Penelitian Perilaku Guru, Manuntung,
7/5/1997
www.ut.ac.id/jurnal
pendidikan/htm.
www.depdiknas.go.id/informasi/htm
Semoga bisa menjadi guru yang profesional dan bermartabat
BalasHapusSemoga bisa menjadi guru yang profesional dan bermartabat
BalasHapusthx moga menjadi guru yang bermartabat pancasilais
BalasHapuskalau penghasilan guru yang pas-pasan sich jaman nya umar bakri, kalau sekarang sudah jaman sertifikasi jadi udah tidak pas-pas an lagi kali
BalasHapusmemang sih..... tpi msih ada ga ya guru yg bner-bner mnjadi seorang pendidik..... ??? hrapan saya sih ada...... semangat lah Bu guru dan Pa Guru, jasamu tiada tara ....... (kalo ikhlas )
BalasHapusSEMANGAT TERUS...... !!!! mari qt crdaskan anak-anak bangsa.......
BalasHapusHidup Guru !!!
BalasHapusBe a teacher smart!!!!!!!!!!!! SEMANGAT!
BalasHapustulisan yang cukup menggugah setiap insan guru yg membaca...semoga guruku ...profesional teacher
BalasHapus