Ujian Nasional siswa SMA/MA/SMK tahun 2011 sudah diumumkan beberapa
hari lalu. Hasilnya pun sudah kita ketahui bersama, yakni terjadi
peningkatan angka kelulusan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lebih
dari 99 % siswa lulus Ujian Nasional tahun ini. Lima ratus ribu lebih
siswa yang lulus itu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 2011 mengikuti Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011 yang digelar
serentak di seluruh tanah air.
Timbul pertanyaan, dengan angka
kelulusan mencapai 99%, apa dapat dikatakan bahwa kualitas siswa tahun
ini meningkat? Jangan keburu. Angka kelulusan menjadi sangat tinggi
karena mulai tahun ini ada perubahan proporsi ketentuan angka kelulusan
antara nilai UN dan nilai rapor. Jika sebelumnya ketentuan kelulusan
ditentukan 100% hasil UN, sehingga angka ketidaklulusan tinggi, maka
mulai tahun ini angka kelulusan ditentukan dengan proporsi 60% dari
nilai UN dan 40% dari nilai rata-rata rapor.
Jika tahun-tahun sebelumnya, tidak hanya
siswa dan orangtua yang stres menghadapi UN tetapi juga guru, sehingga
ada guru yang berusaha sedemikian rupa untuk bisa membantu siswanya,
maka sekarang tidak ada lagi yang stres. Sebab, dengan memiliki
proporsi 40% dari nilai rata-rata rapor guru atau pihak sekolah bisa
antisipasi kelulusan siswa-siswanya sejak dini dengan memperbaiki nilai
rapor. Asal tidak ada nilai mati atau kosong, siswa dipastikan lulus
Ujian Nasional dengan model sekarang ini. Persoalannya mengapa harus ada
proporsi seperti itu? Masihkah ujian ini disebut sebagai Ujian
Nasional? Atau, semi Nasional?
Tampaknya ada sebuah dilema di dunia
pendidikan kita. Jika formula kelulusan UN ketat, dipastikan hasilnya
jeblok, tetapi menggambarkan prestasi sekolah yang sesungguhnya.
Sebaliknya, jika longgar, angka kelulusan sangat tinggi sebagaimana UN
2011 ini, sehingga maksud semula penyelenggaraan UN untuk memotret
prestasi siswa yang sesunguhnya tidak berhasil. Dari dua pilihan
tersebut, pemerintah memilih yang kedua. Pemerintah lebih bersikap
kompromistis untuk memenuhi tuntutan banyak pihak daripada bersikeras
dengan formula kelulusan yang ketat. Selain itu, pemerintah ingin
memberi porsi kepada sekolah atas kerja selama 3 tahun mendidik siswa,
sebagaimana selama ini dituntut pihak sekolah. Potret prestasi sekolah
tetap bisa dilihat dari UN 2011 ini. Sebab, di Daftar Nilai Ujian
dicantumkan tiga kelompok nilai (Nilai Sekolah, Nilai UN, dan Nilai
Akhir yang merupakan gabungan antara Nilai Sekolah dan UN). Prestasi
sekolah akan tampak jika Nilai Sekolah lebih rendah daripada Nilai UN,
dan sebaliknya. Masyarakat bisa melihat prestasi sekolah yang sebenarnya
dari daftar nilai yang ada.
Ada yang beranggapan pemerintah tidak
mau pusing-pusing soal UN. Ada sebagian lain yang berpendapat pemerintah
lemah menghadapi tantangan penyelenggaraan UN. Kelompok yang pro UN
menyayangkan perubahan formula kelulusan UN. Formula yang digunakan
selama ini dengan target kenaikan angka rata-rata kelulusan setiap tahun
sudah cukup baik. Sebab, dengan begitu mau tidak mau sekolah akan
memacu diri bekerja lebih keras agar siswanya lulus. Siswa juga serius
belajar karena takut tidak lulus.
Jika dicermati, sejak kebijakan Ujian
Nasional dilaksanakan tidak sedikit pihak yang tidak menyetujui dengan
berbagai alasan, termasuk dari guru. Para guru menganggap UN sebagai
bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap guru. Alasannya, selama ini
para guru itu yang mendidik siswa, sehingga mereka pula yang berhak
mengujinya. Ada yang beralasan UN merupakan bentuk kooptasi baru
pemerintah terhadap lembaga pendidikan (sekolah). Melalui UN yang
mengujikan beberapa matapelajaran, maka matapelajaran di luar UN menjadi
terpinggirkan. Buktinya, siswa hanya berkonsentrasi pada matapelajaran
UN. Guru yang mengajar matapelajaran non-UN menemui kesulitan untuk
memotivasi siswa agar belajar rajin. Siswa pun berkilah untuk apa
belajar matapelajaran non-UN yang dianggap tidak penting.
Sebaliknya, pihak pemerintah tetap
beralasan UN penting, karena ingin memotret prestasi siswa rata-rata
secara nasional untuk berbagai kepentingan mengambil kebijakan lebih
lanjut. Selain untuk mengukur angka prestasi siswa secara nasional,
lewat UN dapat diketahui sekolah dan daerah mana saja yang prestasinya
baik atau kurang. Kendati banyak protes, pihak pemerintah bersikukuh
bahwa Ujian Nasional tetap dilaksanakan dan menganggap tidak ada alasan
untuk menghentikannya, setidaknya hingga saat ini.
Sikap pemerintah ada benarnya. UN
berhasil memberikan peta kualitas pendidikan di setiap daerah dan
sekolah, termasuk yang paling tidak berprestasi. Sebagai contoh, kendati
formula kelulusan sudah sedemikian longgar, dari UN 2011 diketahui lima
sekolah dari DKI, Aceh, Jambi, Maluku, dan Papua dengan prestasi
kelulusan nol alias tidak ada satu pun siswanya lulus (Kompas,
14/5/2011). Sungguh memprihatinkan. Bisa dibayangkan bagaimana proses
belajar mengajar di sekolah-sekolah tersebut hingga angka kelulusannya
nol. Ironisnya, satu di antara sekolah itu ada di Provinsi DKI.
Pertanyaan selanjutnya jika di DKI saja ada sekolah dengan prestasi
seperti itu, bagaimana sekolah-sekolah di luar DKI, lebih-lebih di luar
pulau Jawa yang jauh dari akses pembangunan. Jika pertanyaan itu
direnungkan lebih dalam, maka dapat disimpulkan bahwa masih sangat berat
beban pembangunan kita, khususnya di bidang pendidikan. Padahal,
pendidikan merupakan pintu paling utama untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa jika kualitas
pendidikan rendah, maka harkat dan martabat manusianya juga rendah.
UN tidak seharusnya menjadi momok bagi
siswa, andai saja sekolah itu berprestasi dan proses belajar mengajar
berjalan dengan baik. Persoalannya adalah prestasi sekolah kita tidak
merata. Ada sekolah sangat baik, ada yang pas-pasan. Bahkan ada jauh di
bawah standar. Titik sentral berprestasi tidaknya sekolah terletak pada
pendidik/guru, sebagaimana pandangan para ahli pendidikan selama ini.
Guru adalah segalanya. Di tangan guru yang berkualitas akan lahir anak
didik yang berkualitas, dan sebaliknya. Komponen yang lain seperti
kurikulum, sarana, pengelolaan, evaluasi, lingkungan sekolah dan
sebagainya hakikatnya hanya merupakan komponen pendukung. Sayangnya,
berdasarkan data (Kompas 24/10/2009) dari 2, 8 juta guru di berbagai
jenjang dan jenis pendidikan, sebagian besar dinilai tidak layak sebagai
guru profesional dengan sebaran di tingkat SD sebanyak 77, 85%, SMP
28,33%, SMA 15, 25%, dan SMK 23, 04%. Jika data ini benar, maka bisa
disimpulkan betapa berat persoalan dunia pendidikan kita. Karena itu,
wajar jika kualitas pendidikan kita rendah.
Pendidikan bukan semata tanggung jawab
pemerintah, melainkan tanggung jawab semua pihak yang merasa bertanggung
jawab membangun negeri ini. Jika kita menengok ke beberapa negara yang
lebih maju dan menanyakan apa sebabnya mereka maju, semua sepakat bahwa
pintu kemajuan terletak pada maju dan tidaknya pendidikan. Menjadikan
pendidikan maju merupakan political will penguasa untuk
selanjutnya diimplementasikan dalam program pembangunan. Selain kehendak
politik, juga diperlukan sikap tegas dan tidak gamang dalam menjalankan
kebijakan pendidikan.
Perubahan kebijakan pendidikan, termasuk
kebijakan perubahan formula kelulusan UN, menandakan sikap gamang dan
tidak mau repot melayani pihak-pihak yang menolak UN. Saya berpikir
dalam alam demokrasi seperti sekarang ini di mana setiap warga negara
bebas menyuarakan pendapat terhadap apapun kebijakan negara maka memang
sulit untuk bersikap tegas dalam menjalankan sebuah kebijakan. Melayani
tuntutan masyarakat luas tampaknya lebih diutamakan daripada memenuhi
idealisme berdasarkan standar tertentu. Jika demikian halnya, maka dalam
alam demokrasi yang masih sedang berjalan dan mencari bentuk di negeri
ini, sikap tegas tampaknya tidak begitu pas. Karena itu, wajar jika
pendidikan kita berada dalam dilema. Dan, saya tidak tahu sampai kapan
hal demikian akan terus terjadi. Para pakar pendidikan yang paling
kompeten menjawab. Atau, setidaknya apa yang terjadi di dunia pendidikan
kita menjadi renungan kita bersama.
Written by / sumber Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
|
Selasa, 14 Juni 2011
Dilema Pendidikan Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TOP BGT
BalasHapus