Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si |
Berita Kompas (3/3/2011) mengenai
menurunnya peringkat pendidikan Indonesia dari peringkat 65 pada tahun
lalu menjadi 69 pada tahun ini cukup menyesakkan dada. Pasalnya,
peringkat pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Karena
itu, dengan menurunnya peringkat pendidikan tersebut mudah dipahami jika
kualitas manusia Indonesia pada umumnya rendah. Padahal, pemerintah
telah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness
sebagai salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah juga telah memperolah alokasi anggaran sebesar 20%
dari APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan untuk
mendukungnya juga telah dibuat, mulai dari perangkat yuridis, seperti
Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga kebijakan operasional seperti
sertifikasi guru, PLPG, Program Pendidikan Guru (PPG), Duel Mode,
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Ujian Nasional dsb. Semua
kebijakan tersebut hakikatnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
nasional.
Sebagaimana diberitakan Kompas (3/3/2011) halaman 12 pada kolom “Pendidikan & Kebudayaan”, berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011
yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin,
1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69
dari 127 negara yang disurvei. Tahun lalu dengan ukuran yang sama,
peringkat Indonesia berada pada urutan 65 dan banyak yang menyambut
gembira karena media menulis ‘Peringkat Pendidikan Indonesia Naik’.
Tahun ini kita kembali kecewa karena peringkat tersebut tidak bisa
dipertahakankan apalagi diperbaiki. Lembaga yang selalu memonitor
perkembangkan pendidikan di berbagai negara di dunia setipa tahun itu
menempatkan kualitas pendidikan Indonesia masih lebih baik daripada
Filipina, Kamboja, dan Laos. Tetapi apa artinya dengan membandingkannya
dengan tiga negara yang memang selama ini peringkatnya tidak pernah
berada di atas Indoenesia, kecuali Filipina yang dalam beberapa hal
lebih baik. Sementara Jepang berada pada urutan pertama sebagai bangsa
dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.
Survei itu menggunakan empat tolok ukur,
yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada anak
usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan
angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar. Sekilas hasil yang
dicapai Indonesia itu bisa dipahami. Sebab kenyataannya memang demikian.
Dengan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 40 juta orang dari 237
juta penduduk berdasarkan sensus tahun 2010 , maka mudah dimengerti
jika angka partisipasi masuk sekolah dasar saja begitu rendah. Angka
buta huruf juga masih sangat tinggi. Di Jawa Timur saja beberapa waktu
lalu pemerintah provinsi Jawa Timur mengumumkan dari 37 juta penduduk
Jawa Timur masih terdapat kurang lebih 6 juta penduduk yang masih buta
huruf. Begitu juga dengan tolok ukur mengenai kesetaraan jender dalam
praktik pendidikan masih jauh dari angka ideal. Kendati isu kesetaraan
jender terus dikumandangkan dan pemerintah secara khusus mengangkat
menteri untuk menangani masalah perempuan, pembangunan kesetaraan jender
masih menemui banyak kendala di Indonesia. Malah ada yang menganggap
kesetaraan jender adalah agenda masyarakat Barat dan bertentangan
dengan nilai budaya bangsa, lebih-lebih nilai agama (Islam).
Untung tolok ukur yang dipakai lembaga
survei tersebut mengenai pendidikan dasar. Saya yakin peringkat
Indonesia akan jauh lebih rendah lagi jika menggunakan pendidikan tinggi
sebagai wilayah pengukuran. Sekadar diketahui, angka partisipasi kasar
(APK) perguruan tinggi kita sangat rendah. Tahun 2014 pemerintah
menargetkan APK kita mencapai 30 %. Dengan kondisi perekonomian
masyarakat kita seperti saat ini, saya tidak begitu optimis angka
tersebut bisa dicapai. Lebih parah lagi jika komponen serapan kerja
para lulusan PT juga dipakai sebagai ukuran. Tentu peringkat Indonesia
akan sangat jeblok. Sebab, setiap tahun tidak kurang dari 2 juta lulusan
perguruan tinggi dari berbagai jurusan menganggur. Mereka ini menjadi
beban berat pemerintah karena menjadi pengangguran intelektual.
Umumnya para lulusan perguruan tinggi
kita mendambakan kerja sektor formal. Sebagai misal, menjadi pegawai
negeri merupakan pilihan kerja paling diminati oleh para lulusan
perguruan tinggi kita. Lihat saja setiap ada lowongan pegawai negeri
betapa banyaknya pelamar yang mendaftar. Tuntutan para pegawai honorer
di berbagai pemerintah daerah dan ribuan guru honorer untuk diangkat
menjadi PNS merupakan bukti nyata bahwa pekerjaan sektor formal masih
merupakan idola bagi alumni pendidikan tinggi kita. Karena kesempatan
menjadi pegawai negeri sangat terbatas, maka yang tidak tertampung
akhirnya menjadi pangangguran. Karena itu wajar jika jumlah pengangguran
lulusan PT yang sering disebut sebagai pengangguran intelektual terus
membengkak.
Banyak yang meragukan tingkat validitas
metode survei tersebut, karena tidak memperhitungkan luasan wilayah, dan
kondisi geografis yang hingga mencapai 17 000 lebih pulau dan sebaran
penduduk yang tidak merata. Memang benar tidak ada sat tidak ada satu
pun metode penelitian yang tidak memiliki kelemahan. Dan,bisa saja benar
tiga hal tersebut menjadi faktor menurunnya indeks pengembangan
pendidikan di Indonesia. Tetapi Global Marketing Report merupakan lembaga sangat credible
dan berpengalaman dalam menilai kemajuan pendidikan di berbagai negara.
Karena itu, jika pun ada kelemahan hasil survei tersebut tetap valid.
Karena itu pula, kita tidak perlu bereaksi secara emosional dan menolak
hasil survei tersebut. justru menurut saya hasil survei itu kita jadikan
bahan berkaca dan mengambil kebijakan lebih lanjut untuk bekerja lebih
keras dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional kita.
Sebagai seorang pendidik, saya merasakan
betul dunia batin siswa kita pada umumnya saat ini. Mungkin hanya
sedikit di antara mereka yang memegang nilai idealisme, selebihnya lebih
pragmatis. Sekadar ilustrasi ada seorang kawan yang mengadakan survei
mengenai sosok dosen yang diidealkan. Hasilnya sungguh di luar dugaan.
Sosok dosen ideal adalah yang santai, tidak banyak tugas dan memberi
nilai murah. Sebaliknya, yang dibenci adalah yang konsisten, disiplin,
banyak tugas dan nilainya mahal. Gambaran demikian sesungguhnya
merupakan pantulan berkembangnya sikap pragmatisme di kalangan mahasiswa
kita. Karena itu, adalah tugas kita semua untuk meluruskan maksud dan
niat suci kegiatan pendidikan. Pendidikan bukan sekadar upaya atau
sarana orang mencari pekerjaan, melainkan sebuah proses pendewasaan diri
untuk bisa hidup bermartabat. Karena merupakan proses pendewasaan diri,
maka pendidikan tidak akan pernah berakhir, sekalipun yang bersangkutan
telah mapan secara material dalam hidupnya (education is life long). Dengan demikian, pendidikan bukan alat (means ) melainkan tujuan (ends).
Serbagian besar masyarakat kita menganggap pendidikan merupakan alat
atau sarana (means ) mencapai tujuan, sehingga begitu tujuan diraih,
malka berakhir pula kegiatan pendidikan tersebut.
Selain meluruskan tujuan dan niat
pendidikan, tugas kita semua juga ntuk menyadarkan bahwa pendidikan
merupakan kegiatan kolektif yang melibatkan banyak unsur, mulai siswa
itu sendiri, masyarakat, orangtua, pendidik, sarana dan prasarana,
manajemen, beaya pendidikan, proses belajar mengajar, hingga campur
tangan pemerintah. Belajar dari negara-negara yang sudah maju, kita bisa
mengambil pelajaran berharga betapa pendidikan merupakan hajat semua
orang. Karena itu, maju dan mundurnya pendidikan merupakan tanggung
jawab semua orang.
Sebaliknya, di masyarakat kita
pendidikan seolah hanya merupakan tanggung jawab guru atau sekolah dan
pada tingkat negara pendidikan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian
Pendidikan. Jika demikian cara pandangnya, maka sampai kapan pun
pendidikan kita tidak akan pernah bisa semaju sebagaimana di
negara-negara yang telah mencapai prestasi puncak dalam pendidikan. Di
tengah-tengah hiruk pikuk perpolitikan nasional kita saat ini --- dan
tampaknya akan terus berlangsung lama --- perhatian pemerintah pun bisa
tersedot pada hal-hal lain di luar tujuan pendidikan. Karena itu, wajar
jika nilai atau prestasi kualitas pendidikan kita menurun dan sulit
sekali bangkit dari peringkat 60- 70.
Sebagai bangsa, kita juga ingin berdiri
gagah di tengah bangsa-bangsa lain yang lebih maju, tidak melalui
perang, melainkan melalui prestasi akademik lewat pendidikan. Memang
sulit untuk mencapai prestasi itu, tetapi bukan tidak mungkin asal semua
pihak sebagaimana disebutkan di muka bergandeng tangan membangun
pendidikan secara serius.
Sumber Klik disini
|
blogwalking
BalasHapusbapak anan yang terhormat. saya appreciate sekali dengan tulisan bapak ini. dari posting bapak mengenai peringkat pendidikan menurun saya menjadi tahu peringkat pendidikan di indonesia. saya menjadi benar-benar mantab untuk mengadakan Kongres PAUD sebagai langkah awal kami sebagai mahasiswa/i pendidikan anak usia dini dalam mencoba mengulurkan tangan untuk menyelamatkan generasi penerus ^^ terima kasih.
BalasHapus---saya setuju sekali dengan apa yang sudah bapak tuliskan di atas...mutu pendidikan dari tahun ke tahun semakin mengalami kemunduran..sebenarnya siapa yang harus disalahkan dalam masalah ini....terima kasih
BalasHapus.... ya bgitulah indonesia selama kurang adanya perhatian yang serius dari seluruh pihak yang terkait dalam masalah ini, dan masih adanya unsur KKN maka kemungkinan besar peringkat pendidikan Indonesia ini akan semakin terpuruk
BalasHapus.... ya bgitulah indonesia selama kurang adanya perhatian yang serius dari seluruh pihak yang terkait dalam masalah ini, dan masih adanya unsur KKN maka kemungkinan besar peringkat pendidikan Indonesia ini akan semakin terpuruk
BalasHapusterima kasih infonya, ada tambahan untuk tugas
BalasHapusIs good information, untuk menambah wawasan tentang pendidikan di Indonesia selalu berikan informasinya pada kami
BalasHapusmatur nuwun..