Pendidikan diyakini sebagai kunci
pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun, pendidikan kita mengalami
proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses
kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Sebagai
contoh Tawuran antar pelajar terutama dikota kota besar, aborsi, penyalahgunaan
pornografi, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya yang kini mewabah
di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi dehumanisasi
pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan.
Bisa juga dikatakan bahwa
pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus
beberapa saat yang lalu telah muncul ke permukaan. Berbagai macam kasus
kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita,
mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses
membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan.
Kritik dan keprihatinan tersebut sangat
beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama
ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik
masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas,
orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya
harus dijejali dan disuapi. Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus
saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana
kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata.
Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih
di pendidikan dasar), tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang
hanya tahu melaksanakan perintah ”tuan”nya.
Dehumanisasi
dan Humanisasi
Dua istilah tersebut bermakna sebagai
lawan kata. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti
sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya
sebagai manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik
pendidikan yang memberlakukan anak manusia sebagai burung beo, dimasukkan ke
dalam kandang atau tempat yang berjeruji, dengan proses pelatihan agar anak
manusia itu dapat menirukan atau dapat melaksanakan sesuai dengan instruksi
tertentu, maka praktik pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai proses
dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya dengan praktik pendidikan yang
memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang dapat diperintah seenaknya
seperti robot dengan satu-satunya metode indotrinasi, yang memandang peserta
didik sebagai masukan kasar (raw input) seperti halnya gandum yang akan
diproses dalam proses produksi massal di sebuah pabrik roti, dan produksinya
memiliki standar kualitas yang sama dan seragam, maka praktik pendidikan
seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi
pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan
indovidual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses
pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan.
Jadi, sebenarnya
praktik dehumanisasi boleh jadi tidak dalam bentuk kebijakan pemerintah,
melainkan dapat saja muncul dari praktik pelaksanaan pembelajaran, atau dari
proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, malpraktik
pendidikan atau pelanggaran hak azasi manusia dalam pendidikan dapat disebut
sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya. Sebagaimana kita fahami
selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia,
karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan didik
(educandum dan educabile).
Fakta menunjukkan bahwa
sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu
kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang
memperlakukan anak didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi
pendidik sebagai tuannya.
Pendidikan Yang Humanis
Berdasarkan pengertian tentang
humnisme, maka dapat
dikatakan bahwa pendidikan yang
humanis adalah berfokus pada peserta-didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha
mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup
selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan untuk
mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar,
serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan adalah media
kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat
erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah
“humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi
dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu
menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi
pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni
berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian
kemanusiaan.Sebenarnya konsep pendidikan yang
bercirikan humanis telah cukup banyak dikemukakan oleh para pendidik.
Beberapa tokoh pendidikan humanis antara lain
:
Jan Komensky (Comenius 1592-1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memperoleh
pendidikan tinggi di Jerman. Komensky berpendapat bahwa :
1) lingkungan
sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan
anak secara wajar, dengan memperbolehkan berbagai kegiatan yang sesuai;
anak secara wajar, dengan memperbolehkan berbagai kegiatan yang sesuai;
2) pengajaran harus berlangsung dalam
suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan
bahasa yang dikenal dan mempresentasikan obyek yang dikenal pula.
Pendapatnya ini antara lain
diwujutkan dengan ditulisnya bukau Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar).
Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar
(misalnya gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas
masing-masing obyek dalam gambar tersebut dengan
istilah Latin dan
bahasa keseharian. Perlu
diperhatikan bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan
indera untuk belajar.
Johann
Pestalozzi (1747 -1827) adalah seorang
pendidik Swiss yang berpendapat bahwa pada hakekatnya semua manusia itu
terlahir dengan baik, tetapi dapat
rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif, yang tercermin antara lain dengan
sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan
dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu
menjembatani perubahan social. Belajar menurut Pestalozzi terjadi karena adanya
rangsangan penginderaan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti
perkembangan alamiah : konkrit ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar,
gradual dan kumulatif.
sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan
dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu
menjembatani perubahan social. Belajar menurut Pestalozzi terjadi karena adanya
rangsangan penginderaan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti
perkembangan alamiah : konkrit ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar,
gradual dan kumulatif.
Friedrich Froebel (1782 - 1852) merupakan
seorang pendidik Jerman yang sangat dikenal
dengan konsep pendidikan
bagi anak usia
dini yang disebut “kindergarten”. Yang agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai
karirnya sebagai seorang rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator
musem, sebelum akhirnya
terjun dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada
perlunya perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang berbasis pada aktivitas diri, karena itu
perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai (termasuk bermain,
menyanyi, menggambar, berkarya dsb. pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu pendidikan
harus berlangsung dengan memperhatikan harga-diri
siswa, dan dengan memberikan contoh mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung.
John Dewey (1859 - 1952)
dianggap sebagai Bapak pendidikan Amerika Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan gagasan
yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari
Eropa. Menurut Dewey, pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota
masyarakat yang belum
matang (terutama anak-anak)
diajak ikut partisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan
adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi
dan sosial seseorang,
melalui pengalaman dan
pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Dewey juga terkenal
dengan metode ilmiah yang dikenal dengan
metode reflektif (reflective method). Metode itu berlangsung dengan langkah-langkah
berikut :
1) Pemelajar
(learner) mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya dalam
suatu kegiatan yang
diminati;
2) Berdasarkan
pengalaman tersebut pemelajar
mempunyai masalah khusus
yang merangsang pikirannya;
3) Pemelajar
mempunyai atau mencari
informasi yang diperlukan
untuk memecahkan masalah tersebut;
4) pemelajar
mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah; dan
5) Pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecakan masalah. Dan
dengan demikian pemelajar akan menemukan
sendiri keabsahan temuannya.
Ivan Illich (1926 - 1990) adalah seorang imam Katolik yang semula bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New
York. Ia merupakan kritikus pendidikan
yang dianggap radikal. Sewaktu dia bertugas di Mexico, dia meluncurkan
pendapatnya tentang masyarakat
bebas sekolah (deschooling
society). Menurut pendapatnya, selama
ini pendidikan di sekolah
telah membelenggu perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh
karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar.
Belajar berlangsung sepanjang hayat,
karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih
banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Obyek untuk pendidikan atau
sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah
perpustakaan, laboratorium, workshops, galeri seni, dan lain-lain dimana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk belajar.
Paulo Freire (1921 - 1997)
adalah seorang ahli pendidikan Brazilia, dan pernah menjabat sebagai
sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep
pendi-dikannya, yang banyak menghadapi
tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif. Menurut Freire pendidikan adalah
usaha memanusiakan manusia,
tujuan pendidikan adalah
pembebasan yang permanen. Pembebasan
permanen ini berlangsung dalam dua tahap : pertama tahap kesadaran
akan penindasan, dan
kedua membangun kemantapan dengan aksi budaya yang
membebaskan. Untuk itu semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan
makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu
dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire
adalah belajar bertolak dari realitas
yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas nyata dengan praksis baru.
Ki Hajar Dewantara (1889 - 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya
lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya “tut wuri handayani, ing
madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada”.
Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (tiga “nga”
- “nga” adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). “Nga” pertama adalah “ngerti” (memahami atau aspek intelektual), “nga”
kedua “ngrasa” (merasakan atau aspek afeksi),
dan “nga” ketiga adalah “nglakoni” (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan ini telah
dilakukan sekitar 20 tahun
sebelum Bloom dkk.
merumuskan taksonomi tujuan
pendidikan yang meliputi
aspek kognitif, afektif
dan psikomotor. Menurut
Dewantara, adalah hak tiap orang untuk
mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran
harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga.
Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
Mohammad Syafei (1896 - 1969) seorang tokoh pendidikan yang mendirikan sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar
pendidikan menurut Syafei adalah : berpikir secara logis dan rasional
dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan
masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan berani
bertanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan, jadi tidak
perlu mengikuti aturan pemerintah (zaman
penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan.
Tokoh-tokoh pendidik
tersebut pada dasarnya
menekankan pada perlunya perhatian kepada masing-masing
peserta didik yang
berbeda karakteristiknya, pembawaannya, keinginannya, dan potensinya. Untuk
itu maka keseragaman pendekatan, perlu
diubah menjadi keragaman pendekatan.
Teori, konsep dan prinsip pendidikan dari para tokoh yang diungkap di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah
pendidikan yang telah ada
sejak ratusan tahun
yang lalu, perlu
mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh.
Pendidikan humanistik yaitu pendidikan
yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam
peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia
yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya
dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya.
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia
yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu:
1. Manusia
yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia
2. Manusia
yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri.
3. Manusia
memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia.
4. Manusia
memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
5. Manusia
menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia.
Apakah pendidikan yang humanistik itu akan
menghalangi manusia dari kemajuan? Apakah kesadaran akan keterbatasan manusia menyebabkan
manusia enggan untuk mengeksplorasi seluruh potensinya? Sama sekali tidak.
Justru melalui nilai-nilai humanistik pendidikan dikembalikan lagi kepada
tujuan azasinya yaitu pemuliaan manusia. Semua manusia diterima dan dihargai
harkat dan martabatnya. Tujuan pendidikan tidak direduksi menjadi sekedar alat
pemenuhan kebutuhan dunia kerja atau alat bagi orang dewasa untuk menjejalkan
sekeranjang pengetahuan tanpa makna dan pemahaman yang semestinya. Pendidikan
memiliki tujuan yang jauh lebih mulia.
Apakah dalam pendidikan humanistik setiap
manusia diperlakukan sama? Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai
perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui. Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih
manusiawi adalah:
1. Terimalah
setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya
2. Berilah
anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri
3. Jangan
memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk
memnuhi kebutuhannya
4. Ukuran
keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak
sesuai dengan kemampuannya
5. Berilah
anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.
6. Berilah
anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab
Melalui pendidikan yang humanis
diharapkan anak memiliki pemahaman atas nilai-nilai dirinya sebagai manusia,
terhadap diri sendiri, manusia lain, lingkungan, alam semesta dan Sang
Pencipta.
Bacaan :
Baharuddin, Makin, Moh. Pendidikan Humanistik
(Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan), Yogyakarta, Ar-Ruzz
Media, 2007
Freire,
Paulo. Pendidikan Masyarakat Kota (Terjemahan). Yogyakarta: LKS. 2003
H.A.R Tilar, Pendidikan Baru
Pendidikan Indonesia, jakarta : rineka cipta, 2000
M. Escobar dkk (ed.), Sekolah
Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 2001
Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, cet. III, Jakarta: LP3ES, 1991
Paulo Freire, Pendidikan yang
Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Menggugat Pendidikan,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Qodri A. Azizy, Pendidikan
(Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan
Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Muantab ... lanjutkan !!!
BalasHapusDitambahkan referensi buku : MENGGAGAS FORMAT PENDIDIKAN NON DIKOTOMIK ( Humanisme Religius ) Karya : Prof.H. Abdurahman Mas'ud, Ph.D. Mantab Om.....
BalasHapuswah bagus banget,setuju sebagai landasan membuat yayasanku yang lebih manusiawi daripada yg laennya. hehehe tengkyu
BalasHapussaya setuju dengan pendapat bapak..
BalasHapusGagasan bapak sangat dibutuhkan dan perlu di pedomani oleh semua pemerhati dibidang pendidikan khususnya (pendidik) untuk pengembangan pendidikan ke depan.Semoga tidak terjadi lagi mal praktek di dunia pendidikan pada setiap tingkatan.Mohon bapak lanjutkan ya..
BalasHapusSaya sangat setuju dengan artikel bapak,silahkan diteruskan aja.
BalasHapussepakat dgn pendapat bapak.
BalasHapusnamun kenyataan yg terjd saat ini masih jauh dari harapan kita. Pendidikan dijadikan sbagai alat untuk memuaskan dan memperlebar sayap kapitalis. Komersialisasi pendidikan menjadi trend. Sistem yg ada membunuh pendidikan.