Minggu, 12 Juni 2011

KEMBALIKAN PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES HUMANISASI (Otokritik Pendidikan)

Pendahuluan
            Pendidikan diyakini sebagai kunci pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun, pendidikan kita mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Sebagai contoh Tawuran antar pelajar terutama dikota kota besar, aborsi, penyalahgunaan pornografi, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya yang kini mewabah di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi dehumanisasi pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan. 

              Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus beberapa saat yang lalu telah muncul ke permukaan. Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan.
Kritik dan keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi. Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih di pendidikan dasar), tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan perintah ”tuan”nya.
Dehumanisasi dan Humanisasi
Dua istilah tersebut bermakna sebagai lawan kata. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana.
Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji, dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang dapat diperintah seenaknya seperti robot dengan satu-satunya metode indotrinasi, yang memandang peserta didik sebagai masukan kasar (raw input) seperti halnya gandum yang akan diproses dalam proses produksi massal di sebuah pabrik roti, dan produksinya memiliki standar kualitas yang sama dan seragam, maka praktik pendidikan seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan indovidual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan.
Jadi, sebenarnya praktik dehumanisasi boleh jadi tidak dalam bentuk kebijakan pemerintah, melainkan dapat saja muncul dari praktik pelaksanaan pembelajaran, atau dari proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, malpraktik pendidikan atau pelanggaran hak azasi manusia dalam pendidikan dapat disebut sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya. Sebagaimana kita fahami selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan didik (educandum dan educabile).
Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan anak didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya.

Pendidikan Yang Humanis
Berdasarkan  pengertian  tentang  humnisme,  maka  dapat  dikatakan  bahwa pendidikan yang humanis adalah berfokus pada peserta-didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.Sebenarnya konsep pendidikan yang bercirikan humanis telah cukup banyak dikemukakan oleh para pendidik. Beberapa tokoh pendidikan humanis antara lain :

Jan Komensky (Comenius 1592-1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Komensky berpendapat bahwa :
1)  lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan
anak  secara  wajar,  dengan  memperbolehkan  berbagai  kegiatan  yang  sesuai;
2)  pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan obyek yang dikenal pula.
Pendapatnya ini antara lain diwujutkan dengan ditulisnya bukau Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar (misalnya gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas masing-masing obyek dalam gambar tersebut  dengan  istilah  Latin  dan  bahasa  keseharian.  Perlu  diperhatikan  bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan indera untuk belajar.
Johann  Pestalozzi (1747 -1827)  adalah  seorang  pendidik Swiss  yang berpendapat bahwa pada hakekatnya semua manusia itu terlahir dengan baik, tetapi dapat rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif, yang tercermin antara lain dengan
sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan
dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu
menjembatani  perubahan  social.  Belajar  menurut  Pestalozzi  terjadi  karena  adanya
rangsangan penginderaan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti
perkembangan alamiah : konkrit ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar,
gradual dan kumulatif.
Friedrich Froebel (1782 - 1852) merupakan seorang pendidik Jerman yang sangat  dikenal  dengan  konsep  pendidikan  bagi  anak  usia  dini  yang  disebut “kindergarten”. Yang agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai karirnya sebagai seorang rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator musem, sebelum akhirnya terjun dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada perlunya perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang berbasis pada aktivitas diri, karena itu perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai (termasuk bermain, menyanyi, menggambar, berkarya dsb. pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu pendidikan harus berlangsung dengan memperhatikan harga-diri siswa, dan dengan memberikan contoh mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung.
John Dewey (1859 - 1952) dianggap sebagai Bapak pendidikan Amerika Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan gagasan yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari Eropa. Menurut Dewey, pendidikan merupakan proses sosial dimana  anggota  masyarakat  yang  belum  matang  (terutama  anak-anak)  diajak  ikut partisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan  pribadi  dan  sosial  seseorang,  melalui  pengalaman  dan  pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Dewey juga terkenal dengan metode ilmiah yang dikenal dengan metode reflektif (reflective method). Metode itu berlangsung dengan langkah-langkah berikut :
1)    Pemelajar (learner) mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya  dalam  suatu  kegiatan  yang  diminati;
 2)   Berdasarkan  pengalaman tersebut  pemelajar  mempunyai  masalah  khusus  yang  merangsang  pikirannya;
3)    Pemelajar  mempunyai  atau  mencari  informasi  yang  diperlukan  untuk  memecahkan masalah tersebut;
4)    pemelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah; dan
5)    Pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecakan masalah. Dan dengan demikian pemelajar akan menemukan sendiri keabsahan temuannya.
Ivan Illich (1926 - 1990) adalah seorang imam Katolik yang semula bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New York. Ia merupakan kritikus pendidikan yang dianggap radikal. Sewaktu dia bertugas di Mexico, dia meluncurkan pendapatnya tentang masyarakat  bebas  sekolah (deschooling  society).  Menurut pendapatnya,  selama  ini pendidikan  di  sekolah  telah  membelenggu  perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar. Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Obyek untuk pendidikan atau sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, workshops, galeri seni, dan lain-lain dimana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk belajar.
Paulo Freire (1921 - 1997) adalah seorang ahli pendidikan Brazilia, dan pernah menjabat sebagai sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep pendi-dikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif.   Menurut Freire pendidikan  adalah  usaha  memanusiakan  manusia,  tujuan  pendidikan  adalah  pembebasan yang permanen. Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap : pertama  tahap  kesadaran  akan  penindasan,  dan  kedua  membangun  kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas nyata dengan praksis baru.
Ki Hajar Dewantara (1889 - 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada”. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (tiga “nga” - “nga” adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). “Nga” pertama adalah “ngerti” (memahami atau aspek intelektual), “nga” kedua “ngrasa” (merasakan atau aspek afeksi), dan “nga” ketiga adalah “nglakoni” (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan  ini  telah  dilakukan  sekitar 20  tahun  sebelum  Bloom  dkk.  merumuskan taksonomi  tujuan  pendidikan  yang  meliputi  aspek  kognitif,  afektif  dan  psikomotor. Menurut Dewantara, adalah   hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
Mohammad Syafei (1896 - 1969)  seorang tokoh pendidikan yang mendirikan sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah : berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan berani bertanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan pemerintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan.
Tokoh-tokoh  pendidik  tersebut  pada  dasarnya  menekankan  pada  perlunya perhatian  kepada  masing-masing  peserta  didik  yang  berbeda  karakteristiknya, pembawaannya, keinginannya, dan potensinya. Untuk itu maka keseragaman pendekatan, perlu diubah menjadi keragaman pendekatan.    Teori, konsep dan prinsip pendidikan dari para tokoh yang diungkap di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang  telah  ada  sejak  ratusan  tahun  yang  lalu,  perlu  mendapat  perhatian  dengan sungguh-sungguh.
Pendidikan humanistik yaitu pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya. 
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: 
1.   Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia
2.   Manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya sendiri.
3.   Manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia.
4.   Manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
5.   Manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia. 
Apakah pendidikan yang humanistik itu akan menghalangi manusia dari kemajuan? Apakah kesadaran akan keterbatasan manusia menyebabkan manusia enggan untuk mengeksplorasi seluruh potensinya? Sama sekali tidak. Justru melalui nilai-nilai humanistik pendidikan dikembalikan lagi kepada tujuan azasinya yaitu pemuliaan manusia. Semua manusia diterima dan dihargai harkat dan martabatnya. Tujuan pendidikan tidak direduksi menjadi sekedar alat pemenuhan kebutuhan dunia kerja atau alat bagi orang dewasa untuk menjejalkan sekeranjang pengetahuan tanpa makna dan pemahaman yang semestinya. Pendidikan memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. 
Apakah dalam pendidikan humanistik setiap manusia diperlakukan sama? Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih manusiawi adalah:
1.  Terimalah setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya
2. Berilah anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri
3.  Jangan memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memnuhi kebutuhannya
4.  Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak sesuai dengan kemampuannya
5.  Berilah anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.
6. Berilah anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab 
Melalui pendidikan yang humanis diharapkan anak memiliki pemahaman atas nilai-nilai dirinya sebagai manusia, terhadap diri sendiri, manusia lain, lingkungan, alam semesta dan Sang Pencipta.








Bacaan :
Baharuddin, Makin, Moh. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan), Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007

Freire, Paulo. Pendidikan Masyarakat Kota (Terjemahan). Yogyakarta: LKS. 2003

H.A.R Tilar, Pendidikan Baru Pendidikan Indonesia, jakarta : rineka cipta, 2000

M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 2001

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, Jakarta: LP3ES, 1991

Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Menggugat Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003

Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

7 komentar:

  1. Muantab ... lanjutkan !!!

    BalasHapus
  2. Ditambahkan referensi buku : MENGGAGAS FORMAT PENDIDIKAN NON DIKOTOMIK ( Humanisme Religius ) Karya : Prof.H. Abdurahman Mas'ud, Ph.D. Mantab Om.....

    BalasHapus
  3. wah bagus banget,setuju sebagai landasan membuat yayasanku yang lebih manusiawi daripada yg laennya. hehehe tengkyu

    BalasHapus
  4. saya setuju dengan pendapat bapak..

    BalasHapus
  5. Gagasan bapak sangat dibutuhkan dan perlu di pedomani oleh semua pemerhati dibidang pendidikan khususnya (pendidik) untuk pengembangan pendidikan ke depan.Semoga tidak terjadi lagi mal praktek di dunia pendidikan pada setiap tingkatan.Mohon bapak lanjutkan ya..

    BalasHapus
  6. Saya sangat setuju dengan artikel bapak,silahkan diteruskan aja.

    BalasHapus
  7. sepakat dgn pendapat bapak.
    namun kenyataan yg terjd saat ini masih jauh dari harapan kita. Pendidikan dijadikan sbagai alat untuk memuaskan dan memperlebar sayap kapitalis. Komersialisasi pendidikan menjadi trend. Sistem yg ada membunuh pendidikan.

    BalasHapus

Pengunjung yang terhormat...Silahkan tinggalkan jejak dengan komentar, pendapat dan saran, bebas asal sopan....OKE..!!!